BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hadis (sunah) bagi umat Islam menempati urutan kedua sesudah Al-Quran, disamping sebagai sumber ajaran Islam yang secara langsung terkait dengan keharusan mentaati Rasulullah saw, juga karena fungsi sebagai penjelas (bayan) bagi ungkapan-ungkapan Al-Quran yang mujmal, Muthlaq, amm, dan sebagainya. Kebutuhan umat Islam terhadap hadis (sunah) sebagai sumber ajaran agama terpusat pada subtansi doktrinal yang tersusun secara verbal dalam komposisi teks (redaksi) matan hadis. Target akhir pengkajian ilmu hadis sesungguhnya terarah pada matan hadis, sedangkan yang lain ( sanad, lambang perekat riwayat, kitab yang mengkoleksi) berkedudukan sebagai perangkat bagi proses pengutipan, pemeliharaan teks, dan kritiknya.
Dalam studi hadis persoalan sanad dan matan merupakan dua unsur penting yang menentukan keberadaan dan kualitas suatu hadis sebagai sumbe otoritas Nabi Muhammad SAW. Kedua unsur itu sangat penting artinya antara yang satu dengan yang lain saling berkaitan erat, sehingga kekosongan salah satu keduanya akan berpengaruh dan bahkan merusak eksistensi dan kualitas suatu hadis.
Dalam studi hadis persoalan sanad dan matan merupakan dua unsur yang penting yang menentukan keberadaan dan kualitas suatu hadis. Kedua unsur itu begitu penting artinya, dan antara yang satu dengan yang lainya saling berkaitan erat, sehingga kekosongan salah satunya akan berpegaruh, dan bahkan merusak eksistensi dan kualitas suatu hadis. Karenaya suatu berita yang tidak memilki sanad tidak dapat disebut sebagai hadis; demikian sebaliknya matan, yang sangat memerlukan keberadaan sanad.
BAB II
PEMBAHASAN
A.Pengertian Matan dan Faktor-Faktor Perlunya kritik matan Hadis
1.Pengertian matan
Menurut bahasa Matan hadis berasal dari bahasa Arab yang artinya panggungJalan (muka jalan), tanah yang tinggi dan keras. Matan menurut hadis adalah pengunjung sanad, yakni sabda Nabi Muhammad SAW, yang disebut sesudah habis disebutkan sanad .
Matan hadits ialah pembicaraan (kalam) atau materi berita yang diover oleh beberapa sanad, baik pembicaraan itu berasal dari sabda Rasulullah saw., sahabat, ataupun tabi'in; baik isi pembicaraan itu tentang perbuatan Nabi maupun perbuatan sahabat yang tidak disanggah oleh Nabi. Dalam literatur Arab kata an-naqd dipakai untuk arti “kritik” atau memisahkan yang baik dari yang buruk.
Kritik matan termasuk kajian tidak populer dilakukan oleh para ahli hadis dari pada kritik sanad hadis. hal ini disebabkan tradisi penyampaian hadis secara lisan mulai dari generasi sahabat sampai generasi tabi’ tabi’in. tepatnya pada tahun ke 8 hijriah pada masa khalifah Umar bin Abdul Aziz memerintahkan setiap gubernur untuk mencari para ahli agar dapat para ahli hadis tersebut menuliskan setiap hadis yang dihapal untuk dicatat dan dibukukan secara resmi. Mengingat, setiap susunan kata dan kandungan hadis dalam sebuah kalimat, tidak bisa dinyatakan sebagai hadis, apabila tidak ditemukan rangkaian rawi yang sampai kepada Nabi Saw.
Kata kritik´ berasal dari bahasaYunani krites yang artinya seorang hakim, krinein berarti menghakimi,kriterion berarti dasar penghakiman . Dalam konteks tulisan ini kata “kritik”´dipakai untuk menunjuk kepada kata an-naqd dalam studi hadis.
Dari arti kebahasaan tersebut, kata "Kritik" bisa diartikan upaya membedakan antara yang benar (asli) dan yang salah (palsu. Kata an-naqd ini telah digunakan oleh beberapa ulama hadis sejak awal abad kedua Hijriah, hanya saja istilah ini belum populer di kalangan mereka. Berdasarkan pada perumusan definisi kritik hadits di atas hakikatnya kritik hadits bukan digunakan untuk menilai salah atau membuktikan ketidakbenaran sabda Rasulullah Saw, karena otoritas nubuwwah dan penerimaan mandat risalah dijamin terhindar dari salah berkata atau melanggar norma .
Sedangkan sebagai disiplin ilmu, Ilmu Kritik hadits para ahli mendefinisikan sebagai berikut :
Ilmu kritik hadis sebagai suatu cabang ilmu hadis berupaya menyingkap adil dan tidaknya para perwi hadis, menelaah matn-matn hadis yang shahih sanadnya untuk menentukan keshahihan dan kelemahan matn itu dan menyelesaikan persoalan matn hadis telah memperoleh nilai shahih dengan menggunakan kaidah-kaidah yang telah ditentukan.
Penetapan status cacat atau adil pada perawi hadits dengan mengunakan idiom khusus berdasarkan bukti-bukti yang mudah diketahui oleh ahlinya, dan mencermati matam-matan hadits sepanjang sahih sanadnya untuk tujuan mengakui validitas atau menilai lemah dan upayta menyingkap kemuskilan pada matan hadits yang shahih serta mengatasi gejala kontradiksi antar matan dengan mengaplikasikan tolok ukur yang detail.
Dari beberapa definisi diatas, dapat ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan kritik matan hadis (naqd al-matn) dalam konteks ini ialah usaha untuk menyeleksi matan-matan hadis sehingga dapat ditentukan antara matan-matan hadis yang sahih atau yang lebih kuat dan yang tidak.
2.Faktor-Faktor Perlunya kritik matan Hadis
Pada dasarnya, kritil ekstern sudah cukup kita jadikan sebagai tolak ukur kesahihan suatu riwayat Dalam mengkaji suatu ilmu kritakan hadis tentu perlunya melihat tentang faktor-faktor kritikan matan hadis. Secara rinci, terdapat dua aspek dalam melakukan kritik matan yaitu matan hadis tidak mengandung syadz (keraguan) dan ‘illat (cacat).
a.Kritik matan yang tidak mengandung unsur syadz (keraguan), yaitu:
- matan hadis tidak berdiri sendiri, tetapi terdapat matan yang serupa dalam riwayat lainnya,
- Matan tidak bertentangan dengan hadis yang lebih kuat kualitasnya,
- Matan tidak bertentangan dengan Alquran,
- matan itu bertentangan dengan logika dan fakta sejarah.
b. Kritik matan tidak mengandung ‘illat dengan kriteria:
- matan tersebut tidak mengandung idraj (sisipan),
- matan hadis tidak mengandung ziyadah (tambahan),
- matan hadis tidak mengandung maqlub (pergantian lafaz atau kalimat),
- matan tidak terjadi idhthirab (pertentangan yang tidak bisa dikompromikan), (5) matan tidak mengalami kerancuan lafaz dan penyimpangan makna yang jauh dari matan hadis tersebut.
Langkah-Langkah dalam Melakukan Kritik Matan
Mengenai dengan langkah-langkah untuk melakukan kritik matan hadis terdapat lima langkah yang akan dibahas dibwah ini, di antaranya:
1.Menghimpun hadis yang memiliki kesamaan tema.
Indikator yang termasuk memiliki kesamaan tema antara lain:
- setiap hadis yang memiliki sumber sanad dan matan yang sama, baik matan yang diriwayatkan secara lafaz maupun makna,
- Setiap hadis yang mengandung makna yang sama baik yang se-ide atau bertolak belakang ide yang terkandung dalam matan tersebut,
- Se-tema dalam arti dalam satu bidang disiplin ilmu, seperti bidang aqidah, ibadah, muamalat dan lain sebagainya.
Perlu diingat bahwa hadis tepat untuk dibandingkan adalah hadis yang memiliki kualitas sanad dan matan yang sederajat. Contoh, jika hadis yang akan dibandingkan berkualitas shahih, maka hadis pembandingnya harus berkualitas shahih juga. Begitu juga dengan matan akan dibandingkan yang tidak mengalami syadz (keraguan), maka matan pembandingnya dalam riwayat lain juga tidak mengalami syadz. Adapun, perbedaan matan dari hasil perbandingan tersebut jika memiliki kesamaan makna, maka perbedaan tersebut dapat ditoleransi.
2.Melihat Tingkat Kesahihan matan melalui pendekatan hadis.
Kaidah ini dilakukan sebagai upaya untuk menjawab jika suatu matan bertentangan dengan matan lainnya, dengan asumsi bahwa tidak mungkin Nabi Saw melakukan suatu perbuatan yang bertentangan dengan sabdanya yang lain (galau). Hakekatnya, setiap kandungan matan tidak ada yang bertentangan dengan hadis dan Alquran.
Jika terdapat hadis yang seolah-olah bertentangan, maka cara penyelesaian dengan melakukan pendekatan ilmu mukhtalifu al-hadis. Imam Syafi’i mengemukakan empat cara menyelesaikannya, yaitu:
- mencari dan menentukan kandungan makna matan mana saja yang bersifat universal dan terperinci,
- mencari dan menentukan kandungan matan mana saja yang bersifat umum dan khusus,
- menentukan matan mana saja yang dinilai mengandung makna dihapus (nasakh) dan yang menghapus (mansukh),
- mengupayakan sebisa mungkin kedua matan yang bertentangan dapat diamalkan.
3.Melihat Tingkat Kesahihan matan melalui pendekatan Alquran
Penelitian matan dengan cara ini dilakukan berawal dari pandangan bahwa Alquran adalah sebagai sumber pertama dalam ajaran Islam. Oleh sebab itu, Alquran hendaknya difungsikan sebagai penentu hadis yang dapat diterima tetapi tidak sebaliknya. Akan tetapi, jika terdapat matan yang seolah-olah bertentangan dengan Alquran, maka cara yang ditempuh adalah dengan melakukan ta’wil atau menerapkan ilmu mukhtalif al-hadis sebagaimana telah diuraikan di atas.
4.Melihat Tingkat Keshahihan Matan dengan Pendekatan Bahasa.
Pendekatan bahasa dilakukan adalah sebagai upaya untuk mengetahui sejauh mana kualitas hadis yang terfokus dalam beberapa aspek, di antaranya:
- melihat kesesuaian susunan bahasa dalam matan dengan kaidah bahasa Arab,
- Melihat sejauh mana penggunaan kata dan atau istilah dalam matan tersebut, kemudian menyesuaikannya dengan penerapan kata-kata yang sering digunakan pada masa Nabi Saw. Jika kata yang terkandung dalam matan tersebut menggunakan kata-kata yang muncul dalam literatur Arab Modern, maka dapat dinyatakan matan tersebut tidak bisa digunakan,
- matan hadis mengandung nilai-nilai ketauladanan yang dapat mengambarkan karakteristik kenabian Muhammad Saw,
- menelusuri kesamaan makna dan atau pemahaman antara makna kata dalam matan dengan pemahaman si pembaca dan atau oleh si peneliti hadis.
5.Melihat Tingkat Keshahihan Matan dengan Pendekatan Sejarah.
Pembahasan hadis baik secara sanad maupun matan, tidak bisa melepaskan dari aspek sejarah. Kajian kritik matan dalam aspek sejarah, umumnya digunakan sebagai media pemahaman hadis. Tetapi, aspek sejarah dalam perspektif keshahihan matan di sini adalah untuk melihat sejauhmana kandungan matan tersebut apakah sesuai atau bertentangan dengan fakta sejarah. jika kandungan dalam matan tersebut bertentangan dengan fakta sejarah, maka tingkat keshaihan matan tersebut gugur.
a).Hadis Nabi Sebagai Salah Satu Sumber Ajaran Islam.
Hadis merupakan sumber ajaran Islam selain al-Quran karena hadis sebagai penjelas dari al-Quran. Dengan meyakini bahwa hadis merupakan bagian dari ajaran islam, maka penelitian hadis khususnya hadis ahad sangat penting. Penelitian tersebut dilakukan untuk menghindarkan dari pemakaian dalil-dalil hadis yang tidak dapat dipertanggung jawabkan sebagai sesuatu yang berasal dari Rasulullah SAW.
Pada zaman al-Syafi’i, golongan inkar al-sunnah muncul. Mereka menyatakan, sumber ajaran islam hanyalah al-quran saja. Faktor yang mendorong munculnya paham inkar al-sunnah yaitu ketidakpahaman mereaka tentang berbagai hal yang berkenaan dengan ilmu hadis. Faktor ini tidak hanya terlihat pada mereka yang berpaham inkar al-sunnah pada zaman al-Syafi’i saja akan tetapi pada masa berikutnya, termasuk di dalamnya kelompok pengingkar al-sunnah di Indonesia dan Malaysia.
b).Tidak Seluruh Hadis Tertulis Pada Zaman Nabi SAW
Sejarah periwayatan hadis Nabi berbeda dengan periwayatan al-Quran. Periwayatan al-Quran dari Nabi kepada para sahabat berlangsung secara umum. Setelah mendengar ayat-ayat al-Quran para sahabat langsung mengahafalnya. Dikala itu para sahabat ada yang membuat catatan ayat-ayat tersebut, para pencatat ada yang sengaja diperintah oleh Nabi dan ada karena inisiatif mereka sendiri. Kemudian secara berkala, hafalan sahabat diperiksa oleh Nabi.
Adapun periwayatan hadis pada masa itu, Nabi melarang para sahabat untuk menulis hadis karena takut bercampur dengan al-Quran. Dikala para sahabat ada yang menulis hadis, Nabi memerintahkan sahabat tersebut agar mengahapus seluruh catatan selain ayat al-quran. Akan tetapi pada kesempatan lain, Nabi juga pernah menyuruh para sahabat untuk menulis hadis. Jika dilihat dari kebijaksanaan Nabi dapatlah dinyatakan, bahwa pada masa itu hanya sebagian saja periwayatan hadis berlangsung secara tertulis pada masa Nabi.
Dengan demikian, bahwa hadis Nabi pada zaman nabi belum seluruhnya tertulis. Hadis yang dicatat oleh para sahabat hanya sebagian saja dari seluruh hadis yang ada. Jadi, periwayatan hadis pada zaman Nabi lebih banyak dalam bentuk lisan daripada bentuk tulisan. Dalam hal ini, sanad hadis menduduki peranan yang penting dalam periwayatan hadis.
B.Kritikan terhadap Ulama Muhadditsin mengabaikan kritik matan
Berbagai pihak menuduh bahwa seleksiotentitas berita yang bersumber dari Nabi Saw. Sepanjang dilakukan oleh para Muhadisin selalu terbatas pada penilitian sanad. Tercatat nama Ibn Khuldun pernah menyatakan demikian. Menyusul kemudian kaum orientalis yang menilai pusat perhatian kaum Mnuhaddisin hanya terpusat pada penelitian sanad (kritik eksternal hadits). Tuduhan serupa dinyatakan oleh Ahmad Amin, Abd Al- Mun’im Al-Bahiy dan muhammad Al Ghazali.
Muhammad Al Ghazali sebagai ulama Mesir mutahir seperti pendahuluannya Muhammad Abu Rayyah meneliti bahwa kegiatan kritik hadits oleh para muhaddisin tercurah oleh aspek sanad, sedangkan upaya untuk mencermati matan, sedangkan upaya untuk mencermati matan hadits justru dilakukan oleh fuqaha mujtahidin. Akumulasi tuduhan itu seakan mengulangisindiran oleh ulama mutakaliminmu’tazilah bahwa perlaku muhaddisin tidak berbeda dengan zawamil asfar atau unta-unta pemikul kertas. Kerja muhaddisin tidak lebih darikesibukan mencari hadits dan mensosialisasikan tanpa memahami maknanya.
Persepsi Ibn Khaldun tentang praktek-praktek muhaddisindalam kritik hadits dikesankan hanya tercurah oleh aspek penelitian sanad semata,bisa dimaklumi bila dikaitkan dengan kondisi umat islam, kususnya kawasan Timur Tengah, Afrika Utara, dan andalusia (Spanyol)sepanjang kehidupan beliau. Persepsi itu juga tidak berlebihan mengingat kecenderunga metodologis kriti k sejarah dimana Ibn Khaldun tergolng sebagai sejarawan.
Walayah perhatian fuqaha terpusat pada upaya penundukan hadist (sunah)pad ajaran dalil – dalil hukum syara’dan terfokuskan kesasaran aplikasi doktinalnya. Karena itu, langkah metodologis kritik mereka yang berbasis pad mu’aradhah (pencocokan) dan muqoronah (perbandingan) antar konsep atau makna yang dikandung setiap unit hadist. Media banding uji kecocokan bisa memperhadapkan al-qu’an dan dalil – dalil perumusan hukum syara amaliah yang lain.target yang ingin dicapai mirip konfirmasi guna mengesahkan kebenaran doktrin hadist dan uji koherensi (ketertautan dan keterhubungan) antar doktrin hadist dan dengan doktrin dalil - dalil syara’ yang lain. Dengan demikian, matan hadist sebagai objek kritik dikalangan fuqoha lebih dekat dengan aspek subtansi doktrinalnya.
C.Penolakan dan bukti perhatian umat Islam terhadap kritik matan.
1.Kritikan Sahabat tarhadap matan
Proses tranfer (pengoperan) informasi hadis dikalangan sesama sahabat Nabi Saw cukup berbekal kewaspadaan terhadap kadar akurasi pemberitaan. Kondisi daya ingat, ketepatan persepsi dalam menguasai fakta kehadisan dimasa hidup Nabi dan faktor gangguan indera mata itu saja yang perlu dicermati dampaknya antara sesama sahabat tidak terpantau kecenderungan mencurigai kedustaan, baik dalam memberitakan sendiri informasi hadis atau yang berasal dari sahabat lain. Latar belakang tersebut kiranya yang mendasari Imam Syafi’i (w. 204) bersikap optimis untuk mendukung kehujjahan hadis mursal shahabi, utamanya yang melibatkan sahabat senior.
Kadar integritas keagamaan (al-‘adalah) segenap sahabat nabi Saw, termasuk mereka yang terlibat langsung dalam fitnah (tragedy koonfli kepentingan politik) telah memperoleh legitimasi sampai ketaraf ijmak. Proses konsensus bermula dari pemekaran atas kata ummah pada penegasan surat al-Baqarah: 143 dan Ali ‘Imron: 10 serta spesifikasi kelompok manusia yang disifati dalam al-Qur’an dengan alladziina ma’ahu pada penyataan surat al-Fath: 29, oleh seluruh mufassirin direpresentasikan segenap sahabat Nabi Saw. [15] Selebihnya berkat pengembangan petunjuk hadits:
من ابى سعيد الخدرى قال النّبيّ صلّى الله عليه وسلّم: لاتسبّوا أصحابى فو الّذى نفسى بيده لو أن احدكم انفق مثل احد ذهبا ماادرك مد أحدهم ولا نصيفه (متفق عليه)
“Dari Sa’id al-Khudry, Nabi bersabda: janganlah kalian mencerca sahabat-sahabatku; maka demi dzat yang jiwaku berada dalam kekuasaan-Nya, sungguh sekiranya seorang diantara kalian membelanjakan emas setara bukit Uhud, niscaya kalian tidak mampu meyamai seukuran sau mus maupun separuhnya” (Mutafaqun ‘alaihi).
Dengan demikian sarana uji kredibilitas perawi sahabatnya dalam mekanisme kritik hadis selama periode kehidupan mereka (hingga selepas kepemimpianan Khulafa al-Rasyidin) tidak menyentuh aspek al-‘adalah, melainkan cukup mengarah pada akurasi kedhabitan semata. Gejala mengefektifkan uji ketersambungan sanad riwayat juga belum terlihat. Kondisi itu disebabkan jarak transmisi hadi umumnya hanya seorang dan paling banyak 2 orang dari sesama sahabat yang terkenal ‘adalah dan kejujurannya.
Kaidah kritik lebih tertuju pada uji kebenaran bahwa Rasulullah Saw jelas –jelas meninformasikan hadis itu prosedurnya mencerminkan upaya memperoleh hasil dari perujukan silang kyang saling membenarkan terhadap fakta kehadisan sebagaimana diberitakan oleh sahabat tertentu. Pola perujukan silang berintikan muqarnah atau perbandingan antar riwayat dn sesame sahabat. Cara yang dilakukan cukup meminta agar shaat periwayat hadits berhasil mendatangkan perorangan sahabat lain yang memberi kesaksian atas kebenaran hadits nabawi yang ia beritakan. Langkah metodologis tersebut berkesan seakan-akan kalangan sahabat tidak bersedia menerima informasi hadis kecuali dibuktikan oleh kesaksian minimal 2 (dua) orang yang sama-sama menerima hadis tersebut dari rasulullah Saw.
Uji kecocokan hadis dengan petunjuk eksplist al-Qur’an, mislnya pengkuan pribadu Fatimah binti Qais al-Quraysyiyah, bahwa ketika dirinya dinyatakan jatuh thalaq ba’in oleh suaminya, Rasulullah saw tidak memberikan fasilitas nafaqahk maupun tempat kediamanatas beban suaminya selama menjalani masa ‘iddah (HR. muslim dan Abu Dawud). Kkhalifah Umar bin khattab menolak pengakuan tersebut yang diasosiasikan kepada nabi Saw, karena menurut keyakinan pribadinya, informasi hadis tersebut ternyata bertentangan dengan petunjuk eksplisit al-Qur’an seperti terbaca pada surat al-Thalaq: 49 dan 51. saat itu Umar bin Khatab menyatakan sikapnya:
قال عمر الخطاب: لانترك كتاب ربنا لقول امرأة لعلها حفظت او نسيت.
( اخرجه مسلم وابو داود)
“kami tidak akan mengabalikan 9kertentuan) kitab suci Tuhan, kami hanya karena ucapan seorang waniita yang mungkin ingat atau lupa”. (HR. Muslim dan Abi Dawud)
Ketika dilakukan mverifikasi data pada subjek Fathimah binti Qais, ternyata yang bersangkutan bermula mohon perkenan kepada nabi Saw untuk tidak tinggal di rumah keluarga suami selama menjalani masa iddah, dengan pertimbangan dilokasi perkampungan eks suami banyak bekeliaran binatang buas. Seperti terungkap pada koleksi al-Bukhary dan Ibnu Majah serta Abu Dawud. Jadi pengakuan Fatimah binti Qais itu ekses dari persepsi pribadinya bahwa persetujuan nabi Saw itu mengisyaratkan tidak adanya fasilitas nafaqah dan tempat tiggal selama ‘iddah pasca thalaq ba’in yang menimpa dirinya.
2.Kritikan Ulama Muhadditsin terhadap Matan
Integritas keagamaan pembawa berita hadis mulai diteliti terhitung sejak terjadi fitnah, yakni peistiwa khalifah Usman bin Affan terbunuh berlanjut dengan kejadian-kejadian lain sudahnya. Fitnah tersebut menimbulkan pertentangan yang tajam dibidang politik dan pemikiran keagamaan keutuhan umat Islam pun terpecah; sebagian mengikuti aliran Syi’ah, Khawarij, Murji’ah, Qadariah dan gelombang berikutnya, Mu’tazilah. Pemuka aliran sectarian itu memanfaatkan institusi hadis sebagai propaganda dan upaya membentuk opini umat dengan cara membuat hadis-hadis palsu.
Perkembangan metode kritik hadis bergerak mengikuti spesialisasi keilmuan dan kecenderungan perhatian perhatian pemikir keagamaan para kritikusnya. Ulama yang menekuni keahlian bahasa menermati dan memperbandingkan bahasa, uslub (gaya bahasa) teks matan hadis yang besifat qauly dengan ukuran bahasa tutur Nabi Saw dalam komunikasi sehari-hari yang dikenal amat fasih. Ulama hadis dengan spesialisasi pendalaman konsep doktrinal hadis memperbandingkannya dengan konsep kandungan sesama hadis (sunnah) dan dengan al-Qur’an. Ulama yang menaruh perhatian pada sector istinbath (penyimpulan deduktif) terhadap kandungan materi hukum, hikmah dan nilai keteladanan dalam hadis, mengarahkan penelitiannya pada nisbah ungkapan pada narasumber hadis.
Sedangkan menurut Nashiruddin Al-Bani, penilaiannya terhadap hadis dapat dicontohkan melalui hadis berikut, Berikut ini adalah contoh hadis :
اخـــتلاف أمــتى رحــمة
Perbedaan pendapat di kalangan umatku adalah rahmat".
Syekh Nashiruddin al-Albani (1986: 80) menilai bahwa hadis ini tidak ada dasar dan sumbernya (أصل له لا). Sebuah hadis harus terdiri dari unsur sanad dan matan. Hadis yang dibicarakan ini belum pernah ditemukan sanadnya, sebab memang bukan sabda Nabi SAW. Hadis yang ada sanadnya adalah hadis yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas.
مهما أوتيتم من كتاب الله فالعمل به لاعدر لأحد فى تركه فإن لم تكن سنة منى فما قال له أصحابى إن أصحابى بمنزلة النجوم فى السماء فأيها أخذتم به اهتديتم واختلاف أصحابى لكم رحمة.
Selagi kamu telah diberi kitab Allah, maka ia harus diamalkan. Tidak ada alasan bagi seseorang untuk meninggalkannya. Apabila tidak ada keterangan dalam kitab Allah, maka (kamu harus memakai) Sunnah dari padaku yang berjalan. Apabila tidak ada keterangan dalam Sunnah,maka (kamu harus memakai) pendapat para sahabatku. Sesungguhnya para sahabatku itu ibarat bintang-bintang di langit. Mana yang kamu ambil pendapatnya, kamu akan mendapatkan petunjuk. Dan perbedaan (pendapat) para sahabatku itu merupakan rahmat bagi kamu.
3.Inkar Al-Sunnah
Inkar al-sunnah berasal dari dua kata, ingkar dan sunnah. Yang dimaksud dengan ingkar adalah penolakan, penafian atau tidak mengakui. Yang dimaksud dengan sunnah adalah hadits-hadits Rasulullah SAW. Jadi inkar al-sunnah adalah paham yang mengingkari keberadaan hadits-hadits Rasulullah SAW.
a)Ingkar Sunnah Pada Masa Periode Klasik
Menanggapi pernyataan tersebut Imran menjelaskan bahwa “kita tidak bisa membicarakan ibadah (shalat dan zakat misalnya) dengan segala syarat-syaratnya kecuali dengan petunjuk Rasulullah saw. Mendengar penjelasan tersebut, orang itu menyadari kekeliruannya dan berterima kasih kepada Imran. Sikap penampikan atau pengingkaran terhadap sunnah Rasul saw yang dilengkapi dengan argumen pengukuhan baru muncul pada penghujung abad ke-2 Hijriyah pada awal masa Abbasiyah. Pada masa ini bermunculan kelompok ingkar as-sunnah.
BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan
Dari isi diatas dapat ditarik suatu kesimpulan yaitu :
- Matan Hadits ialah pembicaraan (kalam) atau materi berita yang diover oleh beberapa sanad, baik pembicaraan itu berasal dari sabda Rasulullah saw., sahabat, ataupun tabi'in; baik isi pembicaraan itu tentang perbuatan Nabi maupun perbuatan sahabat yang tidak disanggah oleh Nabi. Dalam literatur Arab kata an-naqd dipakai untuk arti kritik´ atau memisahkan yang baik dari yang buruk
- Para ulama hadits menetapkan beberapa syarat untuk menyeleksi antara hadis-hadis yang sahih dan yang maudhu’ para pakar hadis menetapkan ciri-ciri hadis shahih sebagai tolok ukurnya.
- Ingkar Sunnah terjadi Pada Masa Periode Klasik, Ingkar Sunnah pada Periode Modern, juga menggunakan Argumentasi Kelompok Ingkar As-Sunnah
B. Saran Saran
Dalam menyusun makalah ini penulis merasa banyak sekali kejanggalan dan kekurangan, hal ini karena keterbatasan penulis sendiri, oleh karena itu penulis mengharapkan saran-saran dan kritikan yang kontruktif demi kesempurnaan makalah ini dan juga kepada Bapak Pembimbing agar sudi kiranya memberikan arahan dan bimbingan untuk menuju kearah yang lebih baik dimasa yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
Soebahar, M. Erfan, Menguak fakta keabsahan al-Sunnah ( Jakarta : Prenada media, 2003),
Azami, Muhammad Musthafa. Metodologi Kritik Hadis. Terj. A. Yamin.Jakarta:Pustaka Hidayah,1992
.http://elkhalil.multiply.com/journal/item/28
http://kafilahcinta.roomforum.com/al-hadist-f3/arti-sanad-dan-matan-hadis-t9.htm
Ibn Mnzur. Lizan Al-Arab Juz III.
Dep.Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Umum Bahasa Indonesia(Jakarta: Balai Pustaka) hlm. 466M. Thahir al-jawabi, Juhul al-Muhaddisin fi naqdi matni al-hadis al-nabawial-syarif , Tunisia; muasasah µabd karim 1986
Muhammad 'Ajjaj al-Khatib,Ushul al-Hadis (Beirut; Dar el-Fikr, 1998).
Muhammad Mustafa Azami, Studies in Hadith Metodology and Literature ( Indiana: Islamic Teaching Center Indianapolis, 1977)
Muhammad tahrir Al-Jawabai, Juhud Al Muhaddisin fi Naqd Matn Al-hadist Al- Nabawi al-Syarif ( Tunis : Muassat A, al-KarimIbn Abdullah[t.th]).
Muslim bin al-Hajjaj, muqadimah al-jami al-shahih jilid I, mesir 1955
M. Syuhudi Ismail. Hadis Nabi Menurut Pembela Pengingkar danPemalsunya. Gema Insani Press. Jakarta : 1995.
http://ulumhadis.wordpress.com/2013/11/08/inkar-sunah/
0 komentar
Berkomentarlah dengan Bahasa yang Relevan dan Sopan.. #ThinkHIGH! ^_^