Periwayatan Hadist Secara Lafaz Dan Makna

Periwayatan Hadist Secara Lafaz Dan Makna

PENDAHULUAN

1.Latar belakang
Sebagai salah satu sumber hukum Islam, hadis memiliki kedudukan yang penting bagi umat Islam. Malahan, hadis menjadi satu di antara dua panduan beragama umat Islam agar selamat dan tidak sesat dalam kehidupan di dunia. Begitu besar perhatian ulama dan umat Islam, berbagai kajian dan studi muncul untuk memahami hadis.

Ulama telah memberikan kontribusi yang besar dalam menyusun ilmu-ilmu yang memiliki pengaruh besar terhadap pemeliharaan, penjelasan, pemahaman dan pengenalan terhadap para perawi hadis dalam rangka upaya untuk memahami hadis dalam lingkup Ulumul Hadis.  Ilmu-ilmu itu tumbuh dalam waktu yang hampir bersamaan dan saling berkaitan.

Salah satu cabang ilmu yang memiliki pengaruh besar terhadap pemeliharaan, penjelasan, pemahaman dan pengenalan terhadap para perawi hadis adalah tahammul wa ‘ada’ul hadis. Tahammul adalah menerima dan mendengar suatu periwayatan hadis dari seorang guru dengan menggunakan beberapa metode penerimaan hadis.  Muhammad ‘Ajaj al-Khatib memberikan defenisi tahamul dengan kegiatan menerima dan mendengar hadis.  Jadi tahammul adalah proses menerima periwayatan sebuah hadis dari seorang guru dengan metode-metode tertentu.

Sedangkan ‘ada adalah kegiatan meriwayatkan dan menyampaikan hadis. Menurut Nuruddin ‘Itr, ‘ada adalah menyampaikan atau meriwayatkan hadis kepada orang lain.  Jadi ‘ada merupakan proses menyampaikan dan meriwayatkan hadis.

Dalam periwayatan hadis tersebut, menerima (tahammul) maupun menyampaikan (‘ada), ada yang dilakukan dengan lafzi atau ma’nawi. 



PEMBAHASAN

1.Pengertian Periwayatan Hadis 
Terhimpunnya hadis dalam kitab-kitab hadis semisal Shahih Bukhari dan Shahih Muslim telah melalui kegiatan yang dinamai dengan riwayatul hadis atau al-riwayat. Dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan menceritakan hadis atau periwayatan. Sesuatu yang di riwayatkan secara umum juga biasa disebut dengan riwayat. 

Kata riwayat adalah masdar dari kata kerja rawa yang berarti naql dan zikir. Artinya adalah penukilan dan penyebutan.  Dalam istilah ilmu hadis, riwayat adalah kegiatan penerimaan dan penyampaian hadis.

Perawi hadis adalah orang yang menerima hadis dari guru dan kemudian menyampaikan atau mengajarkannya kepada orang lain (murid). Dengan demikian ada dua fungsi perawi, yaitu menerima dan menyampaikan. Seorang sahabat yang menerima hadis dari Rasul, misalnya, tetapi dia tidak menyampaikannya kepada yang lain, maka ia tidak disebut perawi. Adapun proses penerimaan dan penyampaikan hadis kepada yang lain disebut periwayatan.

Seorang perawi hadis dituntut menyampaikan hadis yang diterimanya dari rasul atau sahabat kepada lain seperti apa yang didengarnya tanpa disertai komentar. Perawi bukan pensyarah atau penjelas hadis yang disampaikan. Apabila ia memberi tambahan penjelasan atau komentar, maka tidak disebut materi hadis. Oleh sebab itu dia bukan perawi yang dipercaya dan diterima riwayatnya. 

Secara istilah riwayah adalah kegiatan penerimaan dan penyampaian hadis, serta penyandaran hadis itu kepada para periwayatnya dengan bentuk-bentuk tertentu. 

Beberapa point penting yang harus ada dalam periwayatan hadis adalah sebagai berikut:
  1. Orang yang melakukan periwayatan hadis yang kemudian dikenal dengan   rawi (periwayat)
  2. Apa yang diriwayatkan
  3. Susunan rangkaian para periwayat (sanad/isnad)
  4. Kalimat yang disebutkan sesudah sanad yang kemudian dikenal dengan matan
  5. Kegiatan yang berkenaan dengan proses penerimaan dan penyampaian hadis (at-tahamul wa ada al-hadis).

A. Syarat–syarat  Periwayatan  Secara Makna
Keabsahan periwayatan hadis secara makna memunculkan kontroversi di kalangan ulama. Abu Bakar ibn al Arabi (w. 573 H/1148) berpendapat bahwa selain sahabat Rasulullah SAW tidak di perkenankan meriwayatkan hadis secara makna. 

Lebih jauh, Abu Bakar mengemukakan alasan yang mendukung pendapatnya tersebut. Pertama, sahabat memiliki pengetahuan bahasa Arab yang tinggi dan kedua, sahabat menyaksikan langsung keadaan perbuatan Nabi SAW.

Namun, pendapat yang populer di kalangan ulama hadis menyatakan selain sahabat diperkenankan meriwayatkan hadis secara makna dengan beberapa ketentuan yang harus dipenuhi, yaitu :
  1. Memiliki pengetahuan bahasa Arab. Dengan demikian periwayatan matan hadis akan terhindar dari kekeliruan.
  2. Periwayatan dengan makna dilakukan bila sangat terpaksa misalnya karena lupa susunan secara lafaz atau harfiah.
  3. Yang diriwayatkan dengan makna bukan merupakan bentuk bacaan bacaan yang sifatnya ibadah, seperti zikir, doa, azan, takbir dan syahadat, serta bukan yang berbentuk jawami` al kalim.
  4. Periwayat hadis secara makna atau mengalami keraguan akan susunan matan hadis yang diriwayatkannya agar menambah kata اوكما قال atau او نحو هداatau yang semakna dengannya setelah menyatakan matan hadis yang bersangkutan.
  5. Kebolehan periwayatan hadis secara makna hanya terbatas pada masa sebelum dibukukannya hadis secara resmi. Sesudah masa pembukuan (kodifikasi) hadis, periwayatan hadis harus secara lafaz. 
Para sahabat lainnya berpendapat bahwa dalam keadaan darurat karena tidak hafal persis seperti yang di wurud-kan Rasulullah SAW, dibolehkan meriwayatkan hadis secara maknawi. Periwayatan maknawi artinya periwayatan hadis yang matannya tidak sama dengan yang didengarnya dari Rasulullah SAW, tetapi isi atau maknanya tetap terjaga secara utuh sesuai dengan yang dimaksudkan oleh Rasulullah SAW.

Shubhi Ismail menyebut empat syarat yang harus dipenuhi periwayatan dengan makna adalah pertama, perawi hadis itu betul-betul seorang yang alim mengenai ilmu nahwu, sharaf dan ilmu bahasa Arab; kedua, perawi itu harus mengenal dengan baik segala madlul lafaz dan maksud-maksudnya; ketiga, perawi itu harus betul-betul mengetahui hal-hal yang berbeda di antara lafaz-lafaz tersebut; dan keempat, perawi itu harus mempunyai kemampuan menyampaikan hadis dengan penyampaian yang benar dan jauh dari kesalahan atau kekeliruan. 

Di samping empat syarat tersebut Abu Rayyah menambah satu syarat lagi, yaitu tidak boleh penambahan atau pengurangan di dalam terjemahan (penyampaian hadis dengan makna) terserbut. Apabila syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi, maka tidak boleh meriwayatkan hadis bil ma’na, tetapi boleh meriwayatkan bi al-lafzh. 

B.  Hukum Periwayatan Hadis secara Makna
Telah terjadi perselisihan pendapat antara ulama tentang hukum periwayatan hadis secara makna. Perselisihan itu terjadi sebelum dikodifikasinya hadis. Sedangkan setelah pentadwinan dengan berbagai karangan-karangan buku hadis maka tidak boleh adanya periwayatan hadis secara makna. 

Para ulama berselisih pendapat tentang kebolehan meriwayatkan hadis secara makna. Sebagian ahli hadis, ahli ushul dan ahli fikih mengharuskan para perawi meriwayatkan hadis dengan lafaznya yang didengar, tidak boleh ia meriwayatkan hadis dengan maknanya sekali-kali.

Jumhur ulama, yaitu imam yang empat memperbolehkan periwayatan hadis secara makna bagi yang mempunyai ilmu terhadap lafaz-lafaz hadis dengan catatan bukan hadis yang berhubungan dengan ibadah dan bukan perkataan Rasulullah. 

Ulama-ulama lain berpendapat membolehkan seseorang mendatangkan atau meriwayatkan hadis dengan pengertiannya tidak dengan lafaz aslinya. Apabila ia seorang yang menguasai ilmu Bahasa Arab, mengetahui sistem penyampaiannya, berpandangan luas tentang fiqh, dan kemungkinannya lafaz-lafaz yang mempunyai beberapa pengertian sehingga akan terjaga dari pemahaman yang berlainan dan hilangnya kandungan hukum dari hadis tersebut dan wajib menyampaikan dengan lafaz yang ia dengar dari gurunya. 

Imam Syafi’i menerangkan tentang sifat-sifat perawi bahwa hendaknya orang yang menyampaikan hadis itu seorang yang kepercayaan tentang agamanya lagi terkenal bersifat benar dalam pembicaraannya, memahami apa yang diriwayatkan, mengetahui hal-hal yang memalingkan makna dari lafaz dan hendaklah dia dari orang yang menyampaikan hadis persis sebagaimana yang didengar, bukan diriwayatkan dengan makna. 

Apabila diriwayatkan dengan makna sedang dia seorang yang tidak mengetahui hal-hal yang memalingkan makna niscaya tidaklah dapat kita mengetahui boleh jadi ia memalingkan yang halal kepada yang haram. Tetapi apabila ia menyampaikan hadis secara yang didengarnya, tidak lagi kita khawatir bahwa dia memalingkan hadis kepada yang bukan maknanya. Dan hendaklah ia benar-benar memelihara kitabnya jika dia meriwayatan dengan hadis itu dari kitabnya.

Dari penjelasan ini nyatalah bahwa orang yang mengetahui hal-hal yang memalingkan makna dari lafaz, boleh meriwayatkan dengan makna apabila dia tidak ingat lagi lafaz yang asli, karena dia telah menerima hadis, lafaz dan maknanya.

Imam Mawardi mewajibkan menyampaikan hadis dengan maknanya apabila lupa lafaznya, khawatir apabila hadis itu tidak disampaikan, kita termasuk golongan yang menyembunyikan hadis. 

Ada pendapat lain yang membolehkan meriwayatkan hadis dengan maknanya saja dengan syarat bahwa hadis itu bukan yang diibadati dan ini hanya terjadi pada periode sahabat dan tabi’in, dan dibolehkan hanya bagi ahli-ahli ilmu saja. Menjaga kehati-hatian dalam meriwayatkan hadis yang hanya dengan maknanya itu setelah meriwayatkan hadis harus memakai kata-kata كما قال danشبهه  serta yang serupa dengannya.

Secara lebih terperinci dapat dikatakan bahwa meriwayatkan hadis dengan maknanya itu sebagai berikut:
  1. Tidak diperbolehkan, pendapat segolongan ahli hadis, ahli fikih dan usul fikih
  2. Diperbolehkan, dengan syarat yang diriwayatkan itu bukan hadis marfu’
  3. Diperbolehkan, baik hadis itu marfu’ atau bukan asal diyakini bahwa hadis itu tidak menyalahi lafaz yang didengar, dalam arti pengertian dan maksud hadis itu dapat mencakup dan tidak menyalahi
  4. Diperbolehkan, bagi para perawi yang tidak ingat lagi lafaz asli yang ia dengar, kalau masih ingat maka tidak diperbolehkan menggantinya
  5. Ada pendapat yang mengatakan bahwa hadis itu yang terpenting adalah isi, maksud kandungan dan pengertiannya, masalah lafaz tidak jadi persoalan. Jadi diperbolehkan mengganti lafaz dengan murodif-nya.
  6. Jika hadis itu tidak mengenai masalah ibadah atau yang diibadati, umpamanya hadis mengenai ilmu dan sebagainya, maka diperbolehkan dengan catatan:
  • Hanya pada periode sahabat
  • Bukan hadis yang sudah di bukukan
  • Tidak pada lafaz yang diibadati, umpamanya tentang lafaz tasyahud dan qunut. 

C. Periwayatan dengan lafaz (riwayat bil lafzi)
Meriwayatkan hadis dengan lafaz adalah meriwayatkan hadis sesuai dengan lafaz yang mereka terima dari Nabi Muahmmad. Dengan istilah lain yaitu meriwayatkan hadis dengan lafaz yang masih asli dari Nabi Muhammad SAW. Kebanyakan sahabat menempuh periwayatan hadis melalui jalur ini. Mereka berusaha agar periwayatan hadis sesuai dengan redaksi dari Nabi Muhammad SAW bukan menurut redaksi mereka. Malahan semua sahabat menginginkan agar periwayatan itu dengan lafzi bukan maknawi. 

Tercatat dalam sejarah, bahwa para sahabat nabi adalah orang yang sangat berhati-hati dan ketat dalam periwayatan hadis. Mereka tidak mau meriwayatkan sebuah hadis hingga yakin betul teks serat huruf demi huruf yang akan disampaikan itu sama dengan yang mereka terima dari Nabi Muhammad SAW. 

Sebagian sahabat ada yang jika ditanya tentang sebuah hadis merasa lebih senang jika sahabat lain yang menjawabnya. Hal demikian agar ia terhindar dari kesalahan periwayatan. Menurut mereka, apabila hadis yang diriwayatkan itu tidak sesuai dengan redaksi yang diterima, mereka telah melakukan perbuatan dosa, seolah-olah telah melakukan pendustaan terhadap nabi Muhammad SAW. Kekhawatiran tersebut karena didorong oleh rasa keimanan mereka yang kuat kepada Nabi Muhammad SAW. 

Dalam hal ini Umar bin Khatab pernah berkata:
من سمع حديثا فحدث به كما سمع فقد سلم
Artinya: “Siapa yang mendengar sebuah hadis kemudian ia meriwayatkannya seperti  yang ia dengar, maka ia telah selamat”. 

Periwayatan dengan lafaz ini dapat kita lihat pada hadis-hadis yang memiliki redaksi sebagai berikut:
  1. سمعت  (Saya mendengar)
  2. contoh:

عن المغيرة قال: سمعت رسول الله صلّى الله عليه وسلّم يقول: إِنَّ كَذِباً عَلَيَّ لَيْسَ كَكَذِبٍ عَلَى أَحَدٍ فَمَنْ 
كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّداً فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ (رواه مسلم وغيره)

Artinya: Dari Mughirah ra, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya dusta atas namaku itu tidak seperti dusta atas nama orang lain. Maka siapa berdusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaknya ia menempati tempat duduknya di neraka.” (HR. Muslim dan lain-lainnya).

D. Beberapa Penyebab Periwayatan Bil Ma’na
Pada awal Islam sampai khalifah kedua, hadis  tidak ditulis dalam buku-buku yang berjilid. Ketika itu hadis masih merupakan tulisan-tulisan yang terserak pada lembaran-lembaran hati (hafalan). Dalam beberapa sumber disebutkan bahwa keengganan untuk menulis hadis tersebut disebabkan kekhatiran tercampurnya ayat al-Quran   dengan hadis Nabi SAW. Lebih-lebih lagi  bagi generasi selanjutnya  yang tidak menyaksikan  zaman tanzil ( masa turunnya wahyu ), yang tidak mustahil adanya dugaan bahwa seluruh  yang tertulis  adalah wahyu, hingga bercampur aduk antara al-Quran  dan hadis Nabi SAW. 

Mengutip Rasm  Jafarian, Jalaluddin Rahmat mensinyalir keengganan menulis hadis pada era sahabat tersebut menjadi sebab periwayatan  dengan makna. Lebih jauh dia menulis, karena  orang hanya menerima hadis secara lisan, ketika menyampaikan  hadis mereka hanya menyampaikan maknanya. Dalam rangkaian periwayatan,  redaksi hadispun dapat berubah-ubah. Makna adalah masalah  persepsi, masalah penafsiran, maka redaksi hadis berkembang sesuai dengan penafsiran orang yang meriwayatkannya.

Dalam perkembangan  selanjutnya, para sahabat  menyebarkan hadis Nabi Muhammad SAW yang diketahuinya kepada orang lain baik dengan lapazh sebagaimana  ia mendengar/menerima hadis tersebut dari Nabi SAW  apabila hadis itu masih  melekat pada telinga mereka. Atau mereka menyampaikannya  berdasarkan makna yang dikandung hadis tersebut apabila mereka  tidak hafal lagi dengan lafaznya. 

Dengan demikian,  faktor terjadinya periwayatan hadis bilma’na adalah     belum ditulisnya hadis sehingga berlanjut pada  faktor ingatan  dan hafalan  perawi hadis  dengan lapaz hadis yang diterimanya. Hal ini dikuatkan lagi dengan pendapat Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, “Jika seseorang perawi tidak lupa  dengan lapazh hadis,  maka ia tidak boleh meriwayatkannya bilma’na, sebab kalam Nabi SAW adalah  kalimat (perkataan) yang fasih (fashahah) yang  tidak terdapat pada  perkataan  lainnya”.  Hal ini berarti perawi  yang lupa  dengan lapazh hadis yang diterimanya  boleh meriwayatkan  hadis itu  dengan maknanya  saja, dengan syarat-syarat tertentu.

E. Ketentuan Periwayatan Hadis Bilma’na
Keabsahan periwayatan hadis  bil mana memunculkan  kontroversi di kalangan ulama. Abu Bakar ibn al Arabi (w. 573 H/1148) berpendapat bahwa  selain sahabat  Rasulullah SAW tidak diperkenankan  meriwayatkan hadis secara makna. Lebih jauh, Abu Bakar  mengemukakan alasan  yang mendukung pendapatnya tersebut. Pertama, sahabat  memiliki  pengetahuan  bahasa Arab yang tinggi dan kedua, sahabat menyaksikan langsung keadaan perbuatan  Nabi SAW. 

Namun, pendapat yang populer  di kalangan ulama hadis  menyatakan   selain sahabat  diperkenankan  meriwayatkan  hadis secara makna dengan beberapa  ketentuan yang harus dipenuhi, yaitu :
  1. Memiliki pengetahuan bahasa Arab. Dengan demikian periwayatan matan hadis akan  terhindar  dari  kekeliruan.
  2. Periwayatan dengan makna  dilakukan bila sangat  terpaksa misalnya  karena lupa susunan secara lafaz atau harfiah.
  3. Yang diriwayatkan dengan makna  bukan merupakan  bentuk bacaan bacaan yang sifatnya ta’abbudi, seperti zikir, doa, azan, takbir dan syahadat, serta   bukan  yang berbentuk jawami al kalim.
  4. Periwayat  hadis secara makna atau mengalami  keraguan  akan susunan matan  hadis  yang diriwayatkannya agar menambah  kata    او كما قا ل   atau  او نحو هذا  atau yang semakna dengannya setelah menyatakan  matan hadis  yang bersangkutan.
  5. Kebolehan periwayatan hadis secara makna  hanya terbatas pada masa sebelum  dibukukannya  hadis secara resmi. Sesudah  masa  pembukuan (kodifikasi) hadis, periwayatan hadis harus secara lafaz. 

Para sahabat lainnya berpendapat bahwa dalam keadaan  darurat karena tidak hafal  persis seperti  yang di wurud-kan Rasulullah SAW, dibolehkan meriwayatkan hadis secara maknawi. Periwayatan  maknawi  artinya periwayatan  hadis  yang matannya  tidak sama  dengan yang didengarnya  dari Rasulullah SAW, tetapi isi atau maknanya tetap terjaga  secara utuh  sesuai dengan yang dimaksudkan oleh Rasulullah SAW. 

Shubhi Ismail  menyebut empat syarat  yang harus dipenuhi periwayatan dengan makna  adalah  pertama,  perawi hadis  itu betul-betul seorang yang alim  mengenai ilmu nahwu, sharaf dan ilmu  bahasa Arab; kedua, perawi itu harus mengenal dengan baik segala madlul lafal  dan maksud-maksudnya; ketiga, perawi itu harus  betul-betul mengetahui  hal-hal yang berbeda di antara lafal-lafal tersebut; dan keempat, perawi itu harus mempunyai  kemampuan menyampaikan  hadis dengan  penyampaian  yang benar  dan jauh dari kesalahan  atau kekeliruan.  Di samping empat syarat  tersebut Abu Rayyah  menambah satu syarat lagi, yaitu tidak boleh penambahan atau pengurangan di dalam terjemahan (penyampaian hadis dengan makna) terserbut. 

Apabila syarat-syarat tersebut  tidak terpenuhi, maka tidak boleh meriwayatkan hadis  bil ma’na , tetapi boleh meriwayatkan bil-lafzi. Imam Asy-Syafi’i menyebutkan tentang sifat-sifat  seorang perawi sebagai berikut :
  1. Tsiqah dalam beragama
  2. Terkenal kejujurannya  dalam periwayatan hadisnya.
  3. Mengetahui dengan apa  yang diriwayatkannya
  4. Mengetahui seluk beluk makna hadis berdasarkan lafaznya.
  5. Terkenal sebagai perawi hadis  bil lafzi.
  6. Hafal jika ia meriwayatkan  hadis dari hafalannya.
  7. Hafal dengan tulisannya jika ia meriwayatkan hadis dari catatan (tulisannya).

Selain itu, orang yang mengetahui dengan segala makna hadis dari segi lafaznya, ia boleh meriwayatkannya  dengan maknanya  saja apabila ia tidak dapat  mendatangkan  lafaznya  yang asli, karena ia menerima  hadis  itu dengan lafaz  dan maknanya. Namun ia tidak mampu  untuk menyampaikan salah satunya (lafaznya ), maka boleh saja  ia meriwayatkan  hadis itu dengan maknanya  selama dapat menghindari kekeliruan (dhalal) dan kesalahan (khatha’), Sebab tidak menyampaikan  hadis dengan  maknanya  dinilai menyembunyikan hukum. 



PENUTUP

A.Kesimpulan
Dari paparan di atas maka dapat kita simpulkan beberapa kesimpulan  sebagai berikut :
  • Dengan ucapan dan tutur bahasa sebagaimana yang didengar dari Nabi SAW, dengan tidak mengurangi atau menambahnya. Inilah yang kemudian dikenal dengan periwayatan hadis secara lafzi. Hadis yang diterima dengan cara ini ditetapkan oleh para ulama sebagai hujjah dengan tidak ada khilaf.
  • Periwayatan hadis dengan makna diperlukan syarat-syarat tertentu yang akan memelihara kemurnian dan keotentikan hadis.
  • Meskipun pendapat yang populer membolehkan periwayatan dengan makna,     namun menuntut persyaratan berat bagi perawinya dan periwayatan hadis dengan lafaz lebih diprioritaskan dan diutamakan.
  • Penulisan periwayatan hadis secara makna hanya boleh dilakukan oleh mereka yang benar-benar memenuhi syarat. Sehingga bagi mereka yang syaratnya belum mencukupi sebaiknya tidak usah melakukan periwayatan secara makna. Hal ini untuk menjaga supaya hadis tetap menjadi acuan yang otentik tanpa campur tangan manusia yang mau merubah (memalingkan) isi hadis tersebut.
  • Harus memperhatikan pedoman dan ilmu-ilmu yang baku bagi mereka yang akan melakukan periwayatan secara makna.


Demikianlah makalah ini penulis buat, kritik dan saran dari pembaca merupakan sebuah keniscayaan untuk melengkapi makalah ini.


DAFTAR PUSTAKA

Al-Khatib, Muhammad Ajaj, Ushulul Hadis: Pokok-pokok Ilmu Hadis, 2001, Jakarta: Gaya Media Pratama
Al-Ramaharmuzi, al-Muhaddits al-Fashli Baina al-Rawi wa al-Wa’I, 1984. Beirut: Dar al-Fikri.
Ismail, M. Syuhudi, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, Jakarta: Bulan Bintang
Itir,  Nuruddin, Manhaj al-Naqdi fi Ulumul al Hadis, 1997, Damaskus: Dar el Fikri
Jasim, Abdul Aziz Ahmad, Hukmu Riwayat Hadis Nabawi bil Ma’na, Kuwait: Jami’ah Kuwait
Ma’luf, Luwis, al-Munjid  fi al-Lughah, 1973. Beirut: Dar  al-Masyriq
Munawwir, A.W, Kamus Al-MunawwirArab-Indonesia Terlengkap, 1997. Surabaya: Pustaka Progresif
Ritonga, A.Rahman, Studi Ilmu-Ilmu Hadis, 2011. Yokyakarta: Interpena
Soetari, Endang, Ulumul Hadis, 1997, Bandung :Amal Bakti Press
Suparta, Munzier, Ilmu Hadis, 2006, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada

NOTE: Bila Ada Yang Membutuhkan File Microsoft Word (Lengkap Dengan Foot note) Bisa Hubungi Admin Langsung, Bisa Lewat BBM Atau Lewat Facebook, Bisa juga Melaui Komentar Dengan Cara Menerapkan Emailnya



Periwayatan Hadist Secara Lafaz Dan Makna
Item Reviewed: Periwayatan Hadist Secara Lafaz Dan Makna 9 out of 10 based on 10 ratings. 9 user reviews.

kalo ada yang membutuhkan silahkan krm email kalian melalui chat langsung atau facebook

Emoticon? nyengir

Berkomentarlah dengan Bahasa yang Relevan dan Sopan.. #ThinkHIGH! ^_^

Komentar Terbaru

Just load it!