BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam adalah agama yang paling mulia disisi Allah SWT. Sebagaimana bentuk hubungan antara Khaliq dan makhluk, Allah mengsyariatkan beberapa perbuatan yang diberatkan terhadap mukallaf, diantaranya adalah shalat.
Shalat adalah amalan paling pertama yang menentukan dalam islam, karena shalat menjadi tiang agama dalam Islam sebagai pondasi dan pengikat hububgan dengan Allah. Shalat merupakan hal yang sangat diperhitungkan, karena amalan pertama diakhirat nanti yang akan dihisap adalah shalat. Oleh karena itu, shalat diwajibkan setiap saat sehari semalam bagi mukallaf dalam keadaan apapun tanpa terkecuali dengan waktu dan jumlah raka’at yang telah ditentukan.
Namun pada hal tertentu, hal tersebut menjadi Rukhsah bagi mukallaf, karenakan beberapa hal, antara lain adalah musafir yang berkajauhan, dalam hal ini bagi orang yang musafir dibolehkan untuk jama’ dan Qasar, bahkan dalam satu riwayat disebutkanbahwa jama’ dan qasar adalah sedakah Allah kepadanya, sedangkan para ulama, orang musafir dikatagorikan lagi dalam dalam beberapa hal untuk diperbolehkan jama’ dan qasar.
Beranjak dari pembahasan penulis tertarik untuk mengkaji hal ini dengan deng menulis sebuah makalah yang berjudul “Jama’ Dan Qasar Sembahnyang Dalam Perjalan Rekreasi”. Penulis berharap dengan tulisan ini semoga dapat memberi manfaat bagi pembaca, khususnya bagi penulis sendiri.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka penulis dapat merumuskan yang akan mejadi rumusan masalah adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah Pengertian Jama’ dan Qasar
2. Bagaimanakah kententuan Jama’ dan Qasar dalam Sembahnyang
3. Bagaimanakah Hukum Jama’ Dan Qasar Sembahnyang dalam Perjalanan Rekreasi.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Jama’ dan Qasar
Jamak adalah menghimpun antara duaSembahyang dengan melakukan Dhuhur dan Ashar ataupun Magrib dan Isya secara bersamaan dalam satu waktu baik dilakukan diwaktu sembahnyang pertama ataupun kedua.
Para ulama berbeda pendapat dalam masalah hokum menggabungkan antara 2 sembahnyang dalam perjalanan menjadi 2 pendapat:
1.Tidak dibolehkan menggabungkan antara 2 sembahyang dalam perjalanan kecuali pada hari Arafah di Padang Arafah dan juga pada malam hari di Mudzalifah. Ini pendapat Abu hanifah. Dalilnya yaitu hadist Ibnu Mas’ud.
“Aku tidak pernah melihat Rasulullah shalat diluar waktunya kecuali 2 shalat. Beliau menggabungkan antara Dhuhur dan Ashar, Magrib dan Isya di mudzalifah. Dan mengerjakan shalat Shubuh pada hari itu pada waktunya”.
2.Boleh menggabungkan antara Dhuhur dan Ashar, Magrib dan Isya pada saat Safar. Ini pendapat Maliki, Syafii, Ahmad, Ishaq, dalilnya yaitu; hadist Ibnu Umar. Nabi Saw. Pernah menggabungkan antara shalat Magrib dan Isya apabila beliau dalam perjalanan.
Sedangkan Qasar secara bahasa mengandung pengertian menahan dan tidak sampai pada tujuan atau pada akhir sesuatu.
Sedangkan menurut Syara’ yaitu meringkas shalat 4 raka’at menjadi 2 raka’at ketika dalam safar, baik pada waktu aman atau ketakutan. Para ulama sepakat bahwa meringkas shalat saat safar adalah hal yang disyariatkan. Dan shalat Shubuh dan magrib tidak boleh diqasar. Allah berfirman:
Artinya: Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, Maka tidaklah mengapa kamu men-qashar sembahyang(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu. (Qs. An-Nisaa’ [4] : 101).
B.Ketentuan Dan Syarat-Syarat Jama’ dan Qasar Sembahyang
Diperbolehkan Meng-qasar shalat yang jumlah raka’atnya empat dengan memenuhi 5 Syarat-syarat:
1.Berpergian seseorang itu bukan dalam rangka maksiat. Jadi berpergian seperti itu mencangkup berpergian yang wajib, seperti pergi untuk membayar utang, dan yang sunnah, yaitu seperti pergi untuk bersilaturrahmi, dan yang mubah, yaitu seperti pergi untuk berdagang.
Adapun kepergian seseorang untuk bermaksiat, seperti pergi untuk merampok dijalan, maka dalam hal ini tidak ada suatu keringanan untuk qashar begitu juga untuk menjama’.
2.Jarak tempuh berpergian harur ada 16 farsah secara pasti (tidak boleh kurang sedikit saja) menurut pendapat yang lebih shahih. Dan tidak menghitung jarak masa kembalinya orang itu dari jarak 16 farsah tersebut. Jadi jarak 16 farsah itu hanya jarak keberangkatan saja, bukan pulang-pergi. Jarak 1 farsah itu sama dengan 3 mil, dengan demikian jumlah keseluruhan beberapa farsah yang tersebut di atas, adalah 48 mil, sedangkan 1 mil adalah sama dengan 4000 langkah, sedangkan 1 langkah adalah sama dengan 3 kaki. Sedangkan 16 farsah jika dijadikan kedalam KM adalah 138 KM.
3.Orang yang melakukan qashar tersebut, shalatnya berupakan shalat tunai yangAdapun shalat yang tertinggal (belum dikerjakan tidak pada waktunya) saat berada dirumah, maka shalat itu tidak boleh diqadha disaat berpergian dengan cara qashar. Sedangkan shalat yang tertinggal tidak dikerjakan tepat pada waktunya, yang terjadi disaat berpergian, maka shalat itu boleh diqadha dengan cara diqashar sewaktu dalam berpergian tidak boleh dikerkjakan sewaktu sudah kembali dari rumah.
4.Orang yang berpergian tersebut, niat meng-qashar shalat bersamaan dengan takbiratul Ihramnya shalat.
5.Bagi orang yang meng-qashar shalat, didalam mengerjakan sebagian dari shalatnya, tidak boleh bermakmum kepada seseorang Imam yang muqim, yang makmum kepada orang mengerjakan secara sempurna.
Dan diperbolehkan bagi seorang musafir pada saat berpergian yang jauh lagi mubah, yaitu mengumbulkan antara dua shalat, yaitu mengumpulkan antara Dhuhur dan Ashar, dengan jama’ taqdim (Shalat ashar dikerjakan di dalam waktu shalat Dhuhur dan dengan cara jama’ takhir. Syarat-syarat jama’ taqdim ada 3 yaitu;
1.Mushalli mulai dengan melakukan shalat Dhuhur sebelum melakukan shalat Ashar, dan demikian juga memulai shalat Magrib sebelum shalat Isya. Maka seandainya ia melakukan dengan membalik, seperti ia memulai shalat Ashar sebelum melakukan shalat Dhuhur umpamanya. Praktek, demikian itu tidak dianggap sah, dan dia harus mengulangi shalat Ashar dengan segera sehabis melakukan shalat Dhuhur jika memang dia masih bermaksud manjama’ shalatnya.
2.Niat jama’ dipermulaan mengerjakan shalat yang pertama. Dengan cara, ia membersamakan niat jama itu dengan takbiratur Ihram, dan tidak juga memada mengakhirkan niat dan salam dalam shalat yang pertama. Tetapi diperbolhkan melakukan niat ditengah-tengah sedang melakukan shalat yang pertama.
3.Susul menyusul dengan segera antara mengerjakan shalat yang pertama dengan shalat yang kedua. Dengan gambaran waktu yang memisah antara shalat antara yang pertama dengan shalat yang kedua itu tidak begitu lama. Maka apabila dengan penilai urf senggang waktu pemisah antara kedua shalat tersebut cukup lama, walaupun karena da Udzur, seperti tertidur, hukumnya wajib diundurkan shalat yang kedua hingga sampai waktunya melakukan shalat yang kedua tersebut. Dan tidak bahaya didalam hal muwalah antara mengerjakan shalat yang pertama dengan shalat yang kedua, terdapat cenggang waktu pemisah yang hanya sebentar menurut pendapat Urf.
Adapun syarat jama’ takhir, maka didalam melakukan jama’ ia wajib niat menjama’ shalat, dan keberadaan ini adalah didalam waktunya shalat yang pertama. Dan hukumnya diperbolehkan, mengakhirkan niat hingga sampai tiba sisa waktu shalat yang pertama, yaitu suatu masa sekiranya dimulai untuk mengerjakan shalat yang pertama tersebut masih dianggap sembahyang tunai. Didalam jama’ takhir, tidak wajib adanya tertib dan juga tidak ada keharusan muwalah dan bukan pula niat jama’.
Menjama’ shalat boleh dilakukan oleh siapa saja yang memerlukan baik musafir ataupun bukan, dan tidak boleh dilakukan terus-menerus tanpa udzur. Termasuk udzur yang membolehkan se3seorang untuk menjama’ shalatnya adalah musafir ketika masih dalam perjalanandan belum sampai tempat tujauan, sakit dan turunnya hujan.
Bagi orang yang berada dirumah, yakni orang yang muqim, sewaktu dalam keadaan hujan, boleh menjama’ antara 2 shalat, yakni shalat dhuhur dan ashar dan antara Magrib dan Isya. Diperbolehkan itu jika air hujan bisa membahasi pada pakaian dan bagian bahwa sandal. Dan disyaratkan pila, adanya hujan di dalam saat permulaan 2 shalat tersebut. Dan tidak dianggap cukup, terdapatnya hujan ditengah-tengah saat menjalankan shalat yang pertama dari 2 shalat tersebut. Dan disyaratkan pula adanya hujan terus-menerus berlangsung sewaktu hendak mengucapkan salam dari shalat pertama. Baik sesudah itu hujan terus berlangsung atau tidak.
Keringanan menjama’ shalat yang disebabkan oleh hujan itu, dikhususkan untuk orang yang sedang dalam keadaan berjama’ di masjid, atau ditempat lain, yaitu tempat-tempat yang jauh menurut penilaian urf, yang mana orang hendak pergi kemesjid atau lainnya, yaitu tempat-tempat jamah, akan menjadi menderita (sakit) kerena kehujanan.
C.Hukum Jama’ dan Qashar Sembahyang dalam penjalanan Rekreasi
Rekreasi merupakan salah satu hal yang sangat dibutuhkan oleh jasmani dan rohani kita. Apalagi bagi orang-orang yang mempunyai kegiatan padat dan menumpuk. Agar tidak menimbulkan stress, maka badan dan pekiran kita perlu sejenak untuk istirahat. Mengingat shalat adalah hal yang wajib dilakukan oleh setiap mukallaf tanpa terkecuali dalam keadaan apapun dan kondisi bagaimanapun, maka timbul pertanyaan dibenak kita bagaimanakah shalat bagi orang yang melakukan perjalanan rekreasi? Apakah ada rukshah dalam hal ini dengan cara menjama’ atau mengqashar? Sebagaimana yang kita ketahui bahwa islam merupakan agama yang mudah yang selalu memperhatiakan kemaslahatan pemeluknya.
Maka, bagi orang yang melakukan perjalanan rekreasi, boleh untuk menjama’ dan mengqashar shalatnya, dikarenakan rekreasi mempunyai tujuan yang positif , yaitu untuk menghilangkan rasa sumpek, jenuh dan bosan. Dan juga jarak tempuh itu harus ada 16 parsah secara pasti. Tetapih jika rekreasi itu kita gunakan sebagai melakukan kencan dengan kekasih, menurut mayoritas ulama, tidak boleh, kerena berpergian dengan tujuan maksiat. Namun menurut imam Mazani diperbolehkan mengqashar shalat, karena jarang seseorang yang bepergian sealamty dari kemaksiatan.
D.Menjama’ Jum’at Dengan Ashar
Tidak diperbolehkan menjama’ Antara shalat Jum’at dan Ashar dengan alasan apapun baik musafir, turun hujan atau lainnya. Walaupun dia adalah orang yang diperbolehkan menjama’ antara dhuhur dengan Ashar. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya dalil tentang menjama’ antara Jum’at dan Ashar, tetapi yang ada ,menjama’ dhuhur dengan Ashar dan antara magrib dan Isya. Jum’at tidak bisa diqiaskan dengan Dhuhur karena sangat banyak perbedaan antara keduanya.
E.Shalat Jum’at bagi Musafir
Kebanyakan ulama berpendapat bahwa tidak ada shalat jum’at bagi musafir, namun apabila musafir tersebut tinggal disuatu daerah yang diadakan jum’at, maka wajib atasnya mengerjakan jum’at diantara mereka. Ini adalah pendapat Imam Malik, Imam Syafii, Ishak dll. Dalilnya adalah bahwasanya Nabi Muhammad Saw. Apabila safir tidak shalat jum’at dalam safirnya, juga ketika haji wada’ beliau tidak melaksanakan shalat jum’at danmengantikannya dengan shalat Dhuhur yang dijama’ dengan Ashar, Demikian juga sahabat yang empat, dan para sahabat yang lainnya serta orang-orang yang setelah mereka apabila lagi shalat tidak nmengerjakan Jum’at dan mengantikannya dengan Dhuhur.
Saryono Salaman
Aslmlkm. Mau tanya, kalo berekreasi / piknik ke tempat wisata yang jaraknya dari rumah sudah 100 km lebih, apa tetap disunahkan mengqashar sholat ?
Opick Syahreza
Assalaamu 'alaikum. Mau tanya maring kakang ustd teteh ustdzah piss ktb : apakah boleh sholat diqosor atau dijamak tapi perjalanan piknik mau contoh ke taman binatang ragunan..? Wasalamualaikum
JAWABAN
> Masaji Antoro
Waalaikumsalam wr wb. Menurut Kalangan SYAFI’IYAH :
Tergolong perjalanan yang dimubahkan (diperbolehkan) sehingga bisa mendapatkan keringanan Jama’ dan Qashar sholat.
وعدم المعصية سواء أكان السفر طاعة أم مكروها أم مباحا ولو سفر نزهة
“Dan bepergiannya tidak untuk maksiat, baik bepergian untuk hal ketaatan, hal makruh atau hal mubah meskipun bepergian untuk tujuan tamasya” . [ Nihaayatul Muhtaaj VI/156 ].
(الثالثة) لو كان له إلى مقصده طريقان يبلغ احدهما مسافة القصر والثانى لا يبلغها فسلك الطريق الطويل نظر ان كان لغرض كخوف أو حزونة في القصير أو قصد زيارة أو عبادة في الطويل فله القصر ولو قصد التنزه فكذلك وعن الشيخ ابى محمد رحمه الله تعالى تردد في اعتباره وان قصد الترخص ولم يكن له غرض سواه ففى المسألة طريقان (اظهرهما) أن في الترخص قولين (احدهما) انه يترخص وبه قال أبو حنيفة والمزنى وهو نصه في الاملاء لانه سفر مباح فأشبه سائر الاسفار (واصحهما) انه لا يترخص لانه طول الطريق علي نفسه من غير غرض فصار كما لو سلك الطريق القصير وكان يذهب يمينا وشمالا وطول على نفسه حتي بلغت المرحلة مرحلتين فانه لا يترخص
[ Syarh alkabiir li Arroofi’i IV/455 ].
Menurut Kalangan HANABILAH :
Terdapat dua pendapat
فصل : وفي سفر التنزه والتفرج روايتان إحداهما تبيح الترخص وهذا ظاهر كلام الخرقي لأنه سفر مباح فدخل في عموم النصوص المذكورة وقياسا على سفر التجارة والثانية لا يترخص فيه قال أحمد : إذا خرج الرجل إلى بعض البلدان تنزها وتلذذا وليس في طلب حديث ولا حج ولا عمرة ولا تجارة فإنه لا يقصر الصلاة لأنه إنما شرع إعانة على تحصيل المصلحة ولا مصلحة في هذا والأول أولى
PASAL
Dalam bahasan perjalanan dengan tujuan tamasya dan plesir terdapat dua pendapat :
1. Mendapatkan keringanan, ini yang di ambil dari pernyataan lahiriyah Imam Qarhy karena tujuan tamasya dan plesir termasuk perjalanan yang di bolehkan maka tercakup dalam dalil keumuman nash dan dianalogkan dengan perjalanan niaga.
2. Tidak memperoleh keringanan, Imam Ahmad berkata “Bila seseorang bepergian kesejumlah daerah dengan tujuan tamasya dan mencari kenikmatan (refreshing) tidak untuk belajar hadits, haji, umroh tidak pula untuk perjalanan niaga maka tidak diperkenankan Qoshor sholat, karena Qoshor sholat diperlakukan guna menolong mendapatkan kemaslahatan sedang dalam perjalanan semacam ini tidak ada mashlahatnya.
Pendapat pertama lebih bagus… [ AlMughni II/100 ].
> Hakam Ahmed ElChudrie
Bagi orang yang melakukan rekreasi juga diperblehkan untuk mengqoshor sholatnya selama syarat2 qoshor telah terpenuhi.. disini saya hanya menyebutkan ta'bir tentang kebolehan qoshor shalat sebab rekreasi.. dlm HASYIYAH JAMAL I/596..
وما يذكر معها للقصر شروط ثمانية أحدها سفر طويل وإن قطعه في لحظة في بر أو بحر إن سافر لغرض صحيح ولم يعدل عن قصير إليه أي الطويل أو عدل عنه إليه لغرض غير القصر كسهولة وأمن وعيادة وتنزه
قوله وتنزه هو إزالة الكدرات البشرية وقال شيخنا ح ف هو رؤية ما تنبسط به النفس لإزالة هموم الدنيا ا ه
[ Hasyiyah Jamal ‘Alaa alMinhaj I/596 ].
> Abu Balya
Tanazzuh itu bagi yang memiliki masalah, seperti strees... padahal tidak mesti seseorang pergi rekreasi itu karena tanazzuh. Di ibarot lain salah satu syarat jama' qoshor adalah sohihul qoshdi, dan melihat2 negara, melihat makam, borobudur itu dinilai bukan sohihul qoshdi, sehingga nggak dapat keringanan qoshor shalat.
la itu tdk tepat buat ngukumi boleh mas. karna syarat boleh jama' qosor itu di samping bukan maksiat juga dianggap tujannya benar / positif, rekreasi itu bisa mengandung 3 kemungkinan mas :
1. ada unsur tanazzuh (menghilangkan kesumpekan)
2. hanya pengen tau aja keindahan alam
3. litafakkuri kholqillah (yang ini biasa dilakukan ahli tafakkur, para salik) yang nomor 1 dan 3 baru sohih niatnya, sehingga boleh qoshor.
Menurut Kalangan SYAFI’IYAH :
Tergolong perjalanan yang dimubahkan (diperbolehkan) sehingga bisa mendapatkan keringanan Jama’ dan Qashar sholat.
وعدم المعصية سواء أكان السفر طاعة أم مكروها أم مباحا ولو سفر نزهة
Iya, itu benar, aku juga percaya, cuma syaratnya kan banyak, diantaranya, safarnya mencapai dua marhalah, perjalanannya bukan dalam rangka maksiat (baik safar makruh, mubah meskipun nuzhatan/menghilangkan kesumpekan). ada lagi dinilai positif. Yang terakhir ini lho yang belum anda renungkan, seperti keluar tanpa tujuan dan keluar hanya cuma ingin tahu saja ada ini ada itu (bukan lil i'tibar) ini. Ini juga pendapat syafi'iyyah. Jadi menurut anda gimana ssorang keluar tanpa tujuan yang pasti pdahal dia sdah mencapai dua marhalah ?? kalau cuma ke ragunan itu bukan safar maksiat, cuma apakah ke ragunan itu tergolong ghorodl sohih ? karena ghorodl sohih juga menjadi syarat sah qoshor/jama'..
> Ibnu Al-Ihsany
Tidak boleh qoshor karna si musafir tidak memenuhi persyaratan qoshor.
Ibarot di baijuri juz 1 hal 202-203 :
قصر الصلاة الرباعية لا غيرها من ثنائية وثلاثية وجواز قصر الصلاة الرباعية بخمس شرائط
قوله بخمس شرائطأى على ما ذكره المصنف وإلا فقد ترك شروطا الأول دوام السفر يقينا
ـ إلى أن قال ـ
والخامس العلم بجواز القصر فلو رأى الناس يقصرون فقصر معهم جاهلا لم تصح صلاته كما في الروضة وأصلها
Jadi jika pada waktu melakukan perjalanan seseorang tidak mengetahui tentang kebolehan mengqoshor sholat maka tidak boleh mengqoshor. Jika dia melihat sekelompok manusia mengqoshor kemudian seseorang itu mengqoshor bersama sekelompok manusia itu sedang dia tidak mengetahui kebolehan mengqoshor sholat maka sholatnya tidak sah, sebagaimana keterangan dalam keterangan dalam kitab arroudoh dan aslinya. Sehingga ketika pada perjalanan tersebut dia tidak mengetahuitentang kebolehan mengqoshor, maka tidak boleh mengqoshor.
Termasuk syarat di atas :
والرابع أن يكون سفره لغرض صحيح كزيارة وتجارة وحج لا مجرد التنزه ورؤية البلاد فإنه ليس من الغرض الصحيح لأصل السفر
Jadi kalau bepergiannya hanya sebagai murni tanazuh atau ru'yatul bilad maka tidak mendapat rukhsoh, karena hal tersebut bukan termasuk ghord shohih.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1.Qashar secara bahasa mengandung pengertian menahan dan tidak sampai pada tujuan atau pada akhir sesuatu. Sedang menurut syara’ yaitu meringkas shalat 4 raka’at menjadi 2 raka’at, ketika dalam safar baik pada waktu aman atau ketakutan.
2.Jama’ senbahyang yaitu menghimpun antara 2 shalat, dengan melakukan sembahyang Dhuhur dan Ashar, ataupun Magrib dan Isya secara bersamaan dalam satu waktu sembahyang yang pertama ataupun kedua.
3.Bagi orang yang melakukan perjalanan rekreasi, diperbolehkan untuk mengqashar atau menjama’ shalat, asalkan terpenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan. Dan perjalanan rekreasi yang dilakukan bukanlah perjalanan dalam rangka kemaksiatan.
DAFTAR PUSTAKA
Abu malik kamal Ibnu As-Sayyid Salim, Shahih Fiqih Sunnah, Jld. I, (Jakarta Selatan: Pustaka Azzam, 2006).
Abu hazim Mubarak, Fiqh idola terjemah Fathul Qarib, Jld. I, (Jawa Barat: Mujizat, 2012).
Ustad Abdullah Shaleh Al-Hadrami “Seputar hukum shalat jama’ dan Qashar”, (online), (2007), http://abu.zubair.wardpress.com, diakses 10 Desember 2014.
Team Kang santri ‘Og, Kang Santri Menyikap Problematika Umat, jilid I, (Kediri, Jawa Timur: Purna siswa III Aliyah, 2009).
0 komentar
Berkomentarlah dengan Bahasa yang Relevan dan Sopan.. #ThinkHIGH! ^_^