BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Belakangan ini istilah poligami menjadi suatu hal yang sudah tidak asing lagi untuk diperdengarkan, banyak dikalangan masyarakat dan para tokoh terkenal di Indonesia yang juga melakukan poligami. Poligami dilakukan oleh orang yang sudah terikat dalam suatu pernikahan. Pernikahan merupakan ikatan antara dua insan yang mempunyai banyak perbedaan, baik dari segi fisik, asuhan keluarga, pergaulan, cara berfikir (mental), pendidikan, diakui sah oleh Negara dan agama. Sedangkan Poligami ialah suatu system pernikahan dimana salah satu pihak (suami) mengawini lebih dari satu istri pada waktu bersamaan, artinya istri-istri tersebut masih dalam tanggungan suami tidak diceraikan tetapi masih sah menjadi istrinya. Hal ini tentu menjadi pro kontra dikalangan masyarakat bangsa Indonesia.
Dalam kondisi tertentu poligami diperbolehkan bagi seseorang, namun dengan ketentuan syarat yang berlaku. Dalam kesempatan ini kami akan mencoba memaparkan tentang poligami, baik dari pendapat para ulama, dari segi hukum Indonesia dan dari segi agama. Setiap apapun perbuatan pasti memiliki dampak bagi pelakunya, begitupun dengan poligami. Poligami membawa dampak tersendiri bagi orang yang berpoligami baik positif maupun negative.
B. Rumusan Masalah
1.Bagaimanakah Pengertian Poligami
2.Bagaimanakah Dasar Hukum Poligami
3.Bagaimanakah Pendapat Para Ulama Mengenai Poligami
4.Bagaimanakah Poligami Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)
BAB II
PEMBAHASAN
A.Pengertian Poligami
Poligami berasal dari bahasa Yunani, yaitu apoulus yang mempunyai arti banyak; serta gamos yang mempunyai arti perkawinan. Maka ketika kata ini digabungkan akan berarti suatu perkawinan yang banyak dan bisa jadi dalam jumlah yang tidak terbatas. Kata poligami hampir sama dengan poligini. Dimana poligini berasal dari kata polus yang berarti banyak; dan gene yang berarti perempuan. Dari pengertian itu dapat di pahami bahwa yang dimaksud dengan poligami dan poligini ialah suatu system perkawinan dimana yang salah satu pihak (suami) mengawini lebih dari satu istri pada waktu bersamaan, artinya istri-istri tersebut masih dalam tanggungan suami tidak diceraikan tetapi masih sah menjadi istrinya.
Menurut syari’at islam, kata poligami atau ta’addud az-zaujat mempunyai arti seorang laki-laki diperbolehkan mengawini perempuan sebanyak dua, tiga, atau empat jika mampu berlaku adil. Jumhur ulama berpendapat bahwa batasannya yaitu hanya empat. Dalam poligami ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, antara lain:
1.Jumlah perempuan yang boleh nikahi harus berjumlah 4 dan tidak boleh lebih dari itu.
2.Dia harus mempunyai kemampuan dan kekayaan yang cukup untuk menafkahi istri yang dinikahinya baik bersifat lahir maupun batin.
3.Dia harus memperlakukan istrinya secara adil, setiap hari diberlakukan sama dalam memenuhi hak-hak mereka.
B.Dasar Hukum Poligami
Dasar hukum diperbolehkannya poligami sebagaimana firman Allah dalam Qs. An-Nisaa’ ayat 3 yang berbunyi:
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَىٰ فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَلَّا تَعُولُوا
Artinya: Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (QS. An-Nisaa’ : 3)
Perlu juga digaris bawahi bahwa ayat di atas tidak membuat suatu peraturan tentang poligami, karena poligami telah dikenal dan dilaksanakan oleh syariat agama dan adat istiadat sebelumnya, namun hanya membicarakan tentang bolehnya poligami, dan itupun merupakan pintu darurat kecil yang hanya dilakukan saat amat diperlukan dan dengan syarat yang tidak ringan.
Para pakar fiqih sepakat, bahwa hukum melakukan poligami adalah boleh (mubah), Islam membolehkan poligami untuk tujuan kemaslahatan yang ditetapkan bagi tuntunan kehidupan. Allah SWT telah mensyari’atkan poligami untuk diterima tanpa keraguan demi kebahagiaan seorang mukmin di dunia dan akhirat.
Abbas Mahmud al-Aqqab berpendapat bahwa Islam tidak menciptakan poligami, tidak mewajibkan dan tidak pula mensunatkannya, akan tetapi Islam mengijinkan poligami itu dalam beberapa kondisi dengan bersyarat keadilan dan kemampuan.
C.Pendapat Para Ulama Mengenai Poligami
Sebagian besar ulama klasik dan pertengahan memperbolehkan adanya praktek berpoligami. Namun poligami boleh dilakukan jika memenuhi syarat-syarat berpoligami. Syarat-syarat tersebut antara lain, laki-laki hanya diperbolehkan menikahi empat perempuan dan harus bisa berlaku adil.
Pengarang kitab al-Umm, yaitu al-Syafi’I berpendapat bahwa Hadis yang diriwayatkan oleh sahabat Ibnu Umar tentang Gailan bin Salamah al-Saqafi, seorang sahabat nabi yang masuk Islam dengan membawa sepuluh istrinya, kemudian diperintahkan oleh Nabi untuk memilih empat dari mereka adalah sebagai dalil akan kebolehan poligami. Bilangan empat yang dimaksud adalah sebagai batas maksimal bagi seorang yang ingin melakukan poligami.
Dapat dikatakan bahwa Al-Syafi’I memperbolehkan praktek poligami dengan catatan harus memenuhi persyaratannya, yaitu mampu berbuat adil kepada para istrinya dan batasan empat perempuan. Jika lebih dari empat maka dianggap haram.
Menurut beliau yang dimaksud dengan bersifat adil yaitu adil secara materi (seperti pembagian malam, nafkah, mewarisi) atau fisik. Sedangkan keadilan dalam hal hati (cinta) sulit dilakukan karena hanya Allah yang mengetahuinya. Sehingga seseorang yang melakukan poligami sulit dalam membagi hatinya kepada istri-istrinya.
Jika yang melakukan poligami adalah seorang budak, maka batasan dalam berpoligami hanya dua perempuan saja. Hal ini mengacu pada firman Allah yang berbunyi.
Sedangkan dalil mengenai ketentuan bagi budak yang hanya diperbolehkan berpoligami sebanyak dua yaitu, riwayat dari asar Umar bin Khatab mengenai seorang hamba sahaya yang menikahi dua perempuan yang merupakan golongan budak.
Dalam kitab al-Muwatta’, Imam Malik mengatakan bahwa orang yang melakukan poligami hanya diperbolehkan sebanyak empat istri dan ini berlaku bagi suami yang merdeka. Ahmad bin Hanbal menyebutkan batas maksimal seorang laki-laki nerpoligami hanyalah empat istri dan harus diikuti dengan sikap adil, seperti pembagian giliran terhadap istri-istri sehingga tidak diperbolehkan condong pada salah satu istri. Dengan mengutip pada QS. Al-Nisa’ ayat 129, Ahmad bin Hambal mengatakan bahwa keadilan yang dimaksudkan dalam ayat tersebut adalah keadilan dalam hati, sehingga dalam ayat itu, Allah menyatakan kemustahilannya kepada manusia untuk membagi hatinya secara adil.
Dengan mengutip beberapa pendapat dari beberapa ulama (Abu Hanifah, Muzhar ibnu al-Hamam), al-Dahlawi mengatakan bahwa Hadis yang berisi mengenai sahabat Gailan bin Salamah merupakan dasar diperbolehkannya berpoligami namun dengan batasan empat orang istri.
Sedangkan Al-Asqalani berpendapat bahwa wau tersebut artinya adalah au (atau), sehingga pengertianwau bukanlah jumlah tetapi atau. Jika Nabi memiliki sembilan istri beliau berpendapat bahwa hal tersebut merupakan hal yang khusus bagi Nabi.
Dari sekian banyak pendapat para ulama klasik, mereka cenderung memperbolehkan suami untuk berpoligami dengan batasan empat orang istri dan harus mampu bersikap adil. Mereka juga berpendapat mengenai hal keadilan, menurut mereka keadilan yang dimaksud adalah keadilan materi sedangkan keadilan dalam bentuk kasih sayang atau cinta hanya Allah saja yang mengetahuinya.
D.Poligami Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Peraturan tentang perkawinan di Indonesia dilandasi asas monogami terbuka. Perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang istri dimungkinkan bila dikehendaki ataupun disetujui oleh pihak-pihak yang bersangkutan, hanya saja hal itu dapat dilakukan, apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh pengadilan. Hal ini diatur dalam UU No. 1/1974 pasal 3(2), pasal 4 (1) dan pasal 5 (1) dan (2). Dan untuk kelancaran pelaksanaan UU No. 1/1974, telah dikeluarkan PP No. 9/1975, yang mengatur pelaksanaan dari UU tersebut.
Pada dasarnya aturan pembatasan, penerapan syarat-syarat dan kemestian campur tangan penguasa yang diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 diambil alih seluruhnya oleh KHI. Di antara prosedur atau tata cara poligami yang resmi diatur dalam Kompilasi Hukum Islam dalam pasal 56, 57, 58, dan 59, di mana pada pasal 57 mengatur persyaratan keluarnya izin berpoligami dari Pengadilan Agama.
Meskipun Islam membolehkan berpoligami, namun tidak berarti Islam memberikan dispensasi itu secara bebas kepada setiap pria. Dalam hal ini ada aturan-aturan dan ketentuan yang harus dipatuhi oleh mereka yang akan melakukan poligami seperti tersebut dalma kitab-kitab Fiqh. Di Indonesia, ketentuan tentang poligami ini diatur oleh Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan khususnya bab 1 pasal 3 sampai dengan pasal 5 dan peraturan pemerintah tentang pelaksanaannya termaktub dalam Peraturan pemerintah No. 9 tahun 1975, bab VII, pasal 40 sampai dengan pasal 44, yang mana kesemuanya itu mengacu pada tujuan menjaga kehormatan wanita agar tidak terjadi adanya tindakan diluar ketentuan hukum, dengan jelas bahwa didalam pasal 3 Undang-undang Perkawinan tahun 1974 termaktub dengan bunyi:
“Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri, seorang wanita hanya boleh memiliki seorang suami.”
Poligami adalah seorang laki-laki beristri lebih dari satu orang wanita. Disyariatkannya poligami oleh islam mengandung hikmah, yaitu:
1.Untuk mendapatkan keturunan jika salah seorang dari pasutri itu mandul.
2.Untuk menjaga keutuhan keluarga tanpa menceraikan istri, jika istri di dapati seperti cacat sehingga tidak bisa menjalankan tanggung jawabnya seperti layaknya istri.
3.Menyelamatkan sang suami yang mempunyai sifat hyper seks.
Di Indonesia Poligami dapat dilakukan jika telah memenuhi syarat-syarat seperti yang telah diatur dalam KHIPasal 56:
1.Suami yang hendak beristri lebih dari satu orang, harus mendapat izin dari pengadilan agama.
2.Perkawinan yang dilakukan dengan istri kedua, ketiga, atau keempat tanpa izin dari Pengadilan Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum.
BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan
Jika seseorang ragu untuk berperilaku adil dan memberikan perlakuan yang sama untuk memenuhi hak-hak mereka sebagai istri, maka sebaiknya seorang suami memiliki istri satu dan ia tidak diperkenankan menikahi perempuan yang kedua dan seterusnya. Namun, bila seorang suami mampu berlaku adil dan memberikan hak yang sama kepada dua orang istri atau lebih, maka ia diperbolehkan untuk menikahi istri yang ketiga. Dalam kondisi tertentu seseorang diperbolehkan untuk berpoligami apabila istrinya memiliki penyakit yang berbahaya, istri terbukti tidak mempunyai keturunan (mandul), tabiat kemanusiaan suami yang menginginkan untuk beristri lebih dari satu , serta dimana jumlah kaum hawa lebih banyak daripada adam.
DAFTAR PUSTAKA
Labib MZ, Pembelaan UmmatManusia, (Surabaya: Bentang Pelajar, 1986)
Eko Eni Setyaningsih, Skripsi Poligami dalam Perspektif Hukum Islam di Indonesia dan Hak Asasi Manusia, (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2007)
Uswatun Azizah, Skripsi Studi Komparatif Antara Pemikiran Muhammad Abduh dan Muhammad Syahrur Tentang Poligami, (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2006),
Abdurahman I Doi, Perkawinan dalam Syari’at Islam, pen. Basri Iba Ashgari dan Wadi Isturi, cet. Ke-I, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992)
Asep Nurdin, Hadis-hadis Tentang Poligami (Studi Pemahaman Hadis Berprespektif Jender, (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2003), hlm. 70
0 komentar
Berkomentarlah dengan Bahasa yang Relevan dan Sopan.. #ThinkHIGH! ^_^