BAB I
PENDAHULUAN
Nabi Muhammad adalah utusan Allah yang menjadi teladan bagi umat dan rahmat bagi seluruh alam, dalam sejarah perannya bukan hanya sebagai Rasulullah, beliau juga pemimpin masyarakat, hakim, panglima perang, bahkan kepada negara, dan di sisi lain beliau adalah seorang suami dan juga ayah.
Kehidupan Muhammad Muhammad terbatas akan ruang, waktu, dan tempat. Ia hidup di masa tertentu dan tidak semua orang dapat menemuinya. Karena itu peran para sahabat dan tabi’in, dalam memberitakan semua yang berasal dari Rasulullah, baik ucapan, perbuatan, taqrir, sifat dan keinginannya, sangat berarti untuk menjadi pedoman bagi hidup manusia.
Pada dasarnya al-Qur’an sebagai mukjizat Muhammad adalah kitab yang sempurna. Namun, ada ayat-ayat tertentu yang harus dijelaskan secara rinci baik makna, hukum yang terkandung di dalam, atau cara melakukannya dan lain-lain. Inilah peran yang diambil Rasulllah melalui sunnah-sunnahnya.
Hadis memiliki peranan penting sebagai salah satu sumber hukum Islam, adapun fungsinya untuk memperkuat isi kandungan al-Qur’an, untuk memperjelas makna kandungan al-Qur’an yang memerlukan perincian atau penjelasan lebih lanjut, untuk membatasi keumuman ayat al-Qur’an sehingga tidak berlaku pada bagian-bagian tertentu, dan untuk menetapkan hukum yang tidak ditetapkan dalam al-Qur’an. Semua fungsi di atas menempatkan kedudukan hadis sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari sumber hukum Islam, karena itulah tidak ada alasan bagi seorang Muslim untuk meninggalkan salah satunya atau hanya mengamalkan satu saja dari kedua sumber hukum tersebut.
Dalam makalah ini secara garis besar permasalahan yang dibahas adalah kedudukan hadits terhadap al-qur’an, fungsi hadits terhadap al-Qur’an.
BAB II
PEMBAHASAN
A. FUNGSI HADIS TERHADAP AL-QUR’AN
Seluruh umat Islam, telah sepakat bahwa hadis merupakan salah satu sumber ajaran Islam. Ia menempati kedudukan kedua setelah Al-Qur’an. Keharusan mengikuti hadis bagi umat Islam baik berupa perintah maupun larangannya sama halnya dengan kewajiban mengikuti Al-Qur’an. Hal ini didasari karena Al-Qur’anmerupakan dasar hukum pertama, yang di dalamnya berisi garis besar syari’at Islam dan keberadaan hadis semakin menyempurnakan kandungan makna ayat dan memperjelas suatu hukum. Maka dengan demikian, terdapat hubungan yang sangat erat antara hadis dengan Al-Qur’an. Dan sebagai pedoman atau pegangan hidup manusia, dalam pelaksanaannya kedua sumber hukum ini tidak dapat di pisah-pisahkan atau seseorang tidak boleh mengamalkan hanya salah satu dari keduanya.
Berikut dikemukakan beberapa dalil yang menjelaskan tentang kedudukan hadis sebagai sumber hukum :
1. Dalil al-Qur’an
Banyak sekali ayat-ayat al-Quran yang berisikan perintah ta’at kepada Rasul dan mengikuti sunnahnya, salah satu di antaranya terdapat dalam surah Ali Imran ayat 32, sebagai berikut :
قل اطيعوا الله والرّسول فإن تولّوّا فإنّ الله لايحبّ الكافرين
“Katakanlah: Ta’atilah Allah dan rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir. “
Ayat tersebut menunjukkan bahwa taat kepada Allah berarti melaksanakan perintah-perintah al-Qur’andan menjauhkan larangan-Nya. Sedang taat kepada Rasul berarti taat kepada perintah dan menjauhkan larangannya yang disebutkan dalam sunnah dan Al-Qur’an. Perintah kembali kepada Allah berarti kembali kepada al-Qur’ansedang kembali kepada rasul berarti kembali kepada sunnah baik ketika masih hidup maupun setelah wafatnya.
2. Dalil Hadits
Kedudukan hadis sebagai sumber hukum dapat ditemukan melalui hadis-hadis Nabi. Dan dalam salah satu hadisnya mengandung pesan yang berkenaan dengan keharusan menjadikan hadis sebagai pedoman hidup setelah Al-Qur’an, Rasul s.a.w bersabda sebagai berikut.
تركت فيــكم أمرين لن تضّلوا مـــاإن تمســـّكـتم بهمــــا كتــــاب الله و سنّـتــــي.
“Aku tinggalkan dua pusaka pada kalian, jika kalian berpegang kepada keduanya, niscaya tidak akan tersesat, yaitu kitab Allah (Al-Qur’an) dan sunnah Rasul-Nya”.(H.R. al-Hakim).
Hadis di atas memberikan gambaran tentang kedudukan hadis dan merupakan pegangan hukum kepada umat Islam bahwa seorang muslim harus berpegang teguh pada keduanya dengan melaksanakan perintah yang terdapat dalam Al-Qur’andan sunnah dan semua menjauhi larangannya, agar manusia tidak tersesat dalam menjalani kehidupan di dunia dan di akhirat.
3. Kesepakatan Ulama’
Para ulama telah sepakat bahwa sunnah sebagai salah satu hujjah dalam hukum Islam setelah Al-Qur’an. Berkaitan dengan materi ini, Abdul Majid Khon menyimpulkan bahwa : Kehujahan sunnah adakalanya sebagai mubayyin (penjelas) terhadap Al-Qur’anatau berdiri sendiri sebagai hujah untuk menambah hukum-hukum yang belum diterangkan oleh al-Qur’an. Kehujahan sunnah berdasarkan dalil-dalil yang Qath’i (pasti), baik dari ayat-ayat Al-Qur’anatau hadis Nabi dan atau rasio yang sehat maka bagi yang menolaknya dihukumi murtad. Sunnah yang dijadikan hujah tentunya sunnah yang telah memenuhi persyaratan shahih, baik mutawatir atau ahad.
Seperti yang dikatakan oleh Abu Hanifah: “Jauhilah pendapat ra‘yu tentang agama Allah. Kalian harus berpegang kepada as-Sunnah. Barang siapa yang menyimpang daripadanya, niscaya ia sesat.” Hal itu menggambarkan betapa tingginya apresiasi para ulama terhadap hadis sebgai sumber hukum.
Allah menurunkan Al-Qur’an bagi umat manusia untuk dapat dipahami, maka Rasul SAW diperintahkan untuk menjelaskan kandungan dan cara-cara melaksanakan ajarannya kepada mereka melalui hadits-hadits. Dalam hubungannnya dengan al-Qur’an, hadits berfungsi sebagai penafsir, pensyarah, dan penjelas dari ayat-ayat al-Qur’an. Sehingga Ayat-ayat al-Qur’an yang berisi petunjuk bagi ummat dapat terealisasikan dengan baik karena disertai adanya hadit sebagai penjelas.
Adapun bentuk-bentuk penjelas yang digunakan adalah :
1. Bayan Taqrir
Bayan taqrir adalah hadis yang sesuai dengan nash al-Qur’an, sehingga fungsi hadis tersebut memperkuat isi kandungan Al-Qur’an.
Contohnya
عن ابن عمـــر رضى الله عنهـمــا قال :قال رســـول الله صلّي الله عليــه وســلّم:( بني الإســــلام
على خمس, سهــادة أن لاإله إلا الله و أن محمّـــــد رسول الله, وإقـــام الصــّلاة, وإيتـاء الزكــــاة
, والحـج, وصوم رمضان ).
Diriwayatkan dari Ibn ‘Umar Radhiallah: Rasulullah S.A.W pernah bersabda bahwa Islam didasarkan pada lima prinsip berikut: 1. Bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasulullah. 2. Mendirikan shalat. 3. Menunaikan zakat. 4. Melaksanakan haji (ziarah ke tanah suci Makkah). 5. Puasa di bulan Ramadhan. (H.R Al-Bukhari).
Hadis di atas memperkuat keterangan perintah shalat dan zakat (2:83), puasa (2:183), dan perintah haji (3:97).
2.Bayan Tafsir
Bayan tafsir adalah penjelasan hadis terhadap ayat-ayat yang memerlukan perincian atau penjelasan lebih lanjut. Fungsi hadis dalam hal ini memberikan penafsiran terhadap ayat-ayat Al-Qur’anyang masih mujmal (ringkas atau singkat), ayat yang sukar untuk difahami, memiliki makna yang banyak. Contoh hadis tentang pelaksanaan shalat, sebagai berikut :
.... وصــلّوا كمـا رأيتــــــمونـي أصـلّى ... (رواه البخــــا ري)
Dan shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku shalat… ( Hadis Riwayat al-Bukhari).
Hadis di atas merupakan perintah untuk melaksanakan shalat seperti yang dicontohkan Rasul s.a.w, dan berdasarkan perintah Allah s.w.t dalam Al-Qur’ansurah al-Baqarah ayat 43, yang artinya :
“ Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’.”
3. Bayan Takhṣiṣ Al-‘amm
Bayan takhshish al-‘amm : yaitu membatasi keumuman ayat Al-Qur’an, sehingga tidak berlaku pada bagian-bagian tertentu. Adapun contohnya :
عن ابي هريرة رضي الله عنه أنّ رسـول الله صلّي الله عليـه وسـلّم قال : القاتل لايرث.
“ Dari Abu Hurairah, r.a, Rasulullah s.a.w bersabda, ‘ Pembunuh tidak mewarisi’. “ (H.R. Ibnu Majah).
Hadis tersebut memberikan batasan tentang keumuman dari kandungan firman Allah s.w.t dalam surah an-Nisa ayat 11, yang artinya :
“Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu, yaitu bahagian seorang anak laki-laki sama dengan bahagian dua anak perempuan….”
4. Bayan Tasyri’
Bayan tasyri’i yaitu penjelasan hadis yang merupakan penetapan suatu hukum atau aturan-aturan syara’ yang tidak ditetapkan dalam Al-Qur’an. Seperti ketetapan Rasulullah tentang haramnya mengumpulkan ( menjadikan istri sekaligus) antara seorang wanita dengan makciknya.
5. Bayan Ta’yin
Bayan Ta’yin ialah al-Sunnah berfungsi menentukan mana yang dimaksud diantara dua atau tiga perkara yang mungkin dimaksudkan oleh Al-Qur’an. Dalam Al-Qur’anbanyak terdapat ayat atau lafal yang memiliki berbagai kemungkinan arti atau makna (lafal al-Musytarak), sehingga para ahli tafsir memberikan berbagai pengertian. Seandainya lafal-lafal tersebut tidak dijelaskan oleh keterangan-keterangan lain, maka kemungkinan pemahaman terhadap ayat itu akan berlainan dengan tujuan yang dikehendaki, sehingga akan sulit dilaksanakan.
Sebagai contoh, di dalam Al-Qur’an dikatakan bahwa perempuan-perempuan yang dicerai menunggu masa iddahnya sampai tiga kali quru’. Lafal quru’ tersebut dalam surah Al-Baqarah ayat 228 yang berbunyi: “Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menahan) tiga kali quru’, ....”. (QS. Al-Baqarah: 228).
Menurut asal lughah, makna harfiahnya, quru’ itu adalah waktu yang dibiasakan (al-waqt al-mu’tad) sedangkan dalam keterangan yang lain dikatakan bahwa waktu yang dibiasakan itu bukan berarti lain, kecuali haid. Untuk mengetahui dan menguatkan pendapat tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
a.Iddah itu diketahui dengan berpisahnya rahim dari kehamilan. Yang demikian itu tidak dapat diketahui kecuali dengan adanya haid.
b. Kebiasaan Al-Qur’antidak pernah mengatakan atau menyebutkan sesuatu dengan kalimat atau lafal yang dianggap tidak sopan, walaupun yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah haid.
c.Hadits menyebutkan tentang adanya iddah perempuan yang ditalak itu dengan tiga kali haid. Seperti sabda Rasulullah yang berbunyi:
ظلاق الأ مة اثنتان وعد تها حيضتان . (رواه ابن ماجه
“Talak budak dua kali dan ‘iddahnya dua haid”. (HR. Ibnu Majah).
Dengan demikian jelaslah bahwa walaupun lafal quru’ dalam Al-Qur’anadalah lafal yang mempunyai lebih dari satu pengertian, tapi yang dimaksudkan adalah haid, bukan yang lain dari itu. Contoh lain dari bayan ta’yin ini adalah mengenai taqyid pada ayat Al-Qur’anyang muthlaq. Misalnya dalam surah Al-Maidah ayat 3 yang bunyinya: “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, ....”. (QS. Al-Maaidah: 3).
Ayat di atas secara muthlaq mengharamkan semua jenis bangkai dan darah. Namun datang hadits mentaqyid kemuthlakan itu dengan menunjukkan adanya bangkai dan darah yang boleh dimakan. Hadits tersebut adalah sebagai berikut:
أحلت لنا ميتتان ودمان، فأما الميتتان الحوت والجراد. واما الد مان فالكبد والطحال. (رواه ابن ماجه والحاكم).
“Telah dihalalkan bagi kamu dua (macam) bangkai dan dua (macam) darah. Adapun dua bangkai adalah bangkai ikan dan belalang, sedangkan dua darah adalah hati dan limpa”. (HR. Ibnu Majah dan al-Hakim).
Dengan adanya penjelasan tersebut, maka terbukalah beberapa pengecualian dan kemudahan dalam pelaksanaan ajaran Islam, khususnya yang menyangkut bidang hukum.
B. FUNGSI AL-QURAN TERHADAP HADIS
Fungsi Hadits terhadap Al-Quran Al-Quran menekankan bahwa Rasul saw. berfungsi menjelaskan maksud firman-firman Allah (QS 16:44). Penjelasan atau bayan tersebut dalam pandangan sekian banyak ulama beraneka ragam bentuk dan sifat serta fungsinya.
‘Abdul Halim Mahmud, mantan Syaikh Al-Azhar, dalam bukunya Al-Sunnah fi Makanatiha wa fi Tarikhiha menulis bahwa Sunnah mempunyai fungsi yang berhubungan dengan Al-Quran dan fungsi sehubungan dengan pembinaan hukum syara’. Dengan menunjuk kepada pendapat Al-Syafi’i dalam Al-Risalah, ‘Abdul Halim menegaskan bahwa, dalam kaitannya dengan Al-Quran, ada dua fungsi Al-Sunnah yang tidak diperselisihkan, yaitu apa yang diistilahkan oleh sementara ulama dengan bayan ta’kid dan bayan tafsir. Yang pertama sekadar menguatkan atau menggarisbawahi kembali apa yang terdapat di dalam Al-Quran, sedangkan yang kedua memperjelas, merinci, bahkan membatasi, pengertian lahir dari ayat-ayat Al-Quran.
Persoalan yang diperselisihkan adalah, apakah hadis atau Sunnah dapat berfungsi menetapkan hukum baru yang belum ditetapkan dalam Al-Quran. Kelompok yang menyetujui mendasarkan pendapatnya pada ‘ishmah (keterpeliharaan Nabi dari dosa dan kesalahan, khususnya dalam bidang syariat) apalagi sekian banyak ayat yang menunjukkan adanya wewenang kemandirian Nabi Muhammad untuk ditaati. Kelompok yang menolaknya berpendapat bahwa sumber hukum hanya Allah, Inn al-hukm illa lillah, sehingga Rasul pun harus merujuk kepada Allah SWT (dalam hal ini Al-Quran), ketika hendak menetapkan hukum. Kalau persoalannya hanya terbatas seperti apa yang dikemukakan di atas, maka jalan keluarnya mungkin tidak terlalu sulit, apabila fungsi Al-Sunnah terhadap Al-Quran didefinisikan sebagai bayan murad Allah (penjelasan tentang maksud Allah) sehingga apakah ia merupakan penjelasan penguat, atau rinci, pembatas dan bahkan maupun tambahan, kesemuanya bersumber dari Allah SWT.
Ketika Rasullullah melarang seorang suami memadu istrinya dengan bibi dari pihak ibu atau bapak sang istri, yang pada zhahir-nya berbeda dengan nash ayat Al-Nisa’ ayat 24, maka pada hakikatnya penambahan tersebut adalah penjelasan dari apa yang dimaksud oleh Allah SWT dalam firman tersebut. Tentu, jalan keluar ini tidak disepakati, bahkan persoalan akan semakin sulit jika Al-Quran yang bersifat qathi’iy al-wurud itu diperhadapkan dengan hadis yang berbeda atau bertentangan, sedangkan yang terakhir ini yang bersifat zhanniy al-wurud. Disini, pandangan para pakar sangat beragam. Muhammad Al-Ghazali dalam bukunya Al-Sunnah Al-Nabawiyyah Baina Ahl Al-Fiqh wa Ahl Al-Hadits, menyatakan bahwa “Para imam fiqih menetapkan hukum-hukum dengan ijtihad yang luas berdasarkan pada Al-Quran terlebih dahulu. Sehingga, apabila mereka menemukan dalam tumpukan riwayat (hadits) yang sejalan dengan Al-Quran, mereka menerimanya, tetapi kalau tidak sejalan, mereka menolaknya karena Al-Quran lebih utama untuk diikuti.” Pendapat di atas, tidak sepenuhnya diterapkan oleh ulama-ulama fiqih. Yang menerapkan secara utuh hanya Imam Abu Hanifah dan pengikut-pengikutnya. Menurut mereka, jangankan membatalkan kandungan satu ayat, mengecualikan sebagian kandungannya pun tidak dapat dilakukan oleh hadis. Pendapat yang demikian ketat tersebut, tidak disetujui oleh Imam Malik dan pengikut-pengikutnya. Mereka berpendapat bahwa al-hadits dapat saja diamalkan, walaupun tidak sejalan dengan Al-Quran, selama terdapat indikator yang menguatkan hadis tersebut, seperti adanya pengamalan penduduk Madinah yang sejalan dengan kandungan hadis dimaksud, atau adanya ijma’ ulama menyangkut kandungannya.
Karena itu, dalam pandangan mereka, hadis yang melarang memadu seorang wanita dengan bibinya, haram hukumnya, walaupun tidak sejalan dengan lahir teks ayat Al-Nisa’ ayat 24. Imam Syafi’i, yang mendapat gelar Nashir Al-Sunnah (Pembela Al-Sunnah), bukan saja menolak pandangan Abu Hanifah yang sangat ketat itu, tetapi juga pandangan Imam Malik yang lebih moderat. Menurutnya, Al-Sunnah, dalam berbagai ragamnya, boleh saja berbeda dengan Al-Quran, baik dalam bentuk pengecualian maupun penambahan terhadap kandungan Al-Quran. Bukankah Allah sendiri telah mewajibkan umat manusia untuk mengikuti perintah Nabi-Nya? Harus digarisbawahi bahwa penolakan satu hadis yang sanadnya sahih, tidak dilakukan oleh ulama kecuali dengan sangat cermat dan setelah menganalisis dan membolak-balik segala seginya. Bila masih juga ditemukan pertentangan, maka tidak ada jalan kecuali mempertahankan wahyu yang diterima secara meyakinkan (Al-Quran) dan mengabaikan yang tidak meyakinkan (hadits).
C. JENIS-JENIS HADIS
Ada beberapa macam hadis yaitu hadis qauliyah (perkataan Nabi), hadis fi’liyah (perbuatan Nabi) dan hadis taqririyah (ketetapan Nabi). Penjelasannya adalah sebagai berikut:
1. Hadis Qauliyah
Hadis Qauli Yang dimaksud dengan hadis Qauli, ialah segala bentuk perkataan atau ucapan yang disandarkan kepada Nabi SAW. dengan kata lain hadis tersebut berupa perkataan Nabi SAW yang berisi berbagai tuntutan dan petunjuk syara’, peristiwa-peristiwa dan kisah-kisah, baik yang berkaitan dengan aspek akidah, syari’ah maupun akhlaq. Diantara contoh Hadis Qauli adalah hadis tentang do’s Rasulullah SAW yang ditujukan kepada orang yang mendengar, menghafal, dan menyampaikan ilmu.
Diantara contoh Hadis Qauli adalah hadis tentang do’s Rasulullah SAW yang ditujukan kepada orang yang mendengar, menghafal, dan menyampaikan ilmu. Hadis tersebut berbunyi:
نَضَّرَ اللّهُ امْراءً سَمِعَ مِنَّاحَدِيْثًا فَحَفِظَةُ حَتَّى يُبَلِّغَهُ غَيْرَهُ فَاِنّهُ رُبَّ حَامِلٍ فِقْهٍ لَيْسَ بِفَقِيْهٍوَرُبَّ حَامِلٍ فِقْهٍ اِ لَى مَنْ هُوَ اَفْقَهُ مِنْهُ ثَلاَ ثٌ خِصَالٍ لاَيَغِلُّ عَلَيْهِنَّ قَلْبُ مُسْلِمٍ اَبَدًا اِخْلاَ صُ الْعَمَلِ لِلّهِ وَمُنَا صَحَةُ وُلاَةِ الاْمرِ وَلُزُوْمُ الْجَمَاعةِ فَاِنَّ دَعْوَتَهُمْ تُحِيْطُ مِنْ وَرائِهِمْ (رواه احمد).
Artinya: Semoga Allah memberi kebaikan kepada orang yang mendengarkan perkataan dariku kemudian menghafal dan menyampaikan kepada orang lain, karena banyak orang berbicara mengenai fiqih padahal ia bukan ahlinya. Ada tiga sifat yang karenanya tidak akan timbul rasa dengki dihati seorang muslim,yaitu ikhlas beramal semata-mata kepada Allah SWT, menasihati,taat, patuh kepada pihak penguasa dan seti terhadap jama’ah. Karena sesungguhnya doa mereka akan memberikan motivasi dan menjaganya) dari belakang.(HR Ahmad).
Menurut rangkinya Hadis qauli menmempati urutan pertama dari bentuk-bentuk hadis lainnya. Urutan ini menunjukkan kualitas hadis qauli menempati kualitas pertama diatas kualitas hadis fi’li dan hadis taqriri
2. Hadis Fi’liyah
Hadits Fi’liyah Yang dimaksud dengan hadis fi’liyah yaitu segala yang disandarkan kepada Nabi SAW berupa perbuatannya yang sampai kepada kita. Seperti hadis tentang shalat diatas kendaraan:
كَا نَ النّبِيُّ أنّ رسـول الله صلّي الله عليـه وسـلّم عَلَى رَا حِلَتِهِ حَيثُ تَوجَّهَتْ بِهِ (متفق اليه)
Artinya: Nabi SAW diatas tunggangannya, kemana saja tunggangnnya itu menghadap. (H.R Mutafaq ‘alaih, juga at-Turmudzi dan Ahmad Amir bin Rabi’ah).
Kualitas hadis fi’li menduduki rangking kedua setelah hadis qauli. Untuk mengetahui hadis yang termasukkatagori ini, diantaranya terdapat kata-kata ka/yakunu, atau raitu/raina.
3. Hadis Taqririyah
Hadis taqririyah yaitu hadis yang berupa ketetapan Nabi Muhammad terhadap apa yang datang atau yang dilakukan oleh para sahabat Nabi membiarkan atau mendiamkan suatu perbuatan yang dilakukan oleh para sahabatnya, tanpa memberikan penegasan, apakah beliau membenarkan atau mempersalahkannya. Sikap Nabi yang demikian itu dijadikan dasar oleh para sahabat sebagai dalil taqriri yang dapat dijadikan hujjahatau mempunyai kekuatan hukum untuk menetapkan suatu kepastian syara’.
Diantara contoh hadis taqriri ialah sikap Rasulullah membiarkan para sahabat dalam memberikan penafsiran sabdanya tentang salat pada suatu peperangan, yang berbunyi:
لاَ يُصَلِّيَّنَّ احَدٌ الْعَصْرَ اِلاّ فِي بَنِي قُرَيضَهَ (روهالبخرى)
Artinya: Janganlah seorangpun shalat ashar kecuali nanti di bani Quraidhah. (H.R Bukhari)
Sebagian sahabat memahami larangan itu berdasarkan pada hakikat perintah tersebut, sehingga mereka terlambat dalam melaksanakan shalat ashar. Sedangkan segolongan sahabat lainnya memahami perintah tersebut dengan perlunya segera menuju bani Quraidhah dan serius dalam peperangan dan perjalananya, sehingga bisa shalat ashar tepat pada waktunya. Sikap para sahabat ini dibiarkan oleh Nabi SAW tanpa ada yang disalahkan atau diingkarinya.
Contoh lainnya dapat pula dilihat, misalnya pada sebuah hadis tentang sikap Rasulllah terhadap jawaban mu’adz bin jalal atas pertanyaan yang disampaikan kepadanya ketika akan diutus unutuk menyelesaikan perkara dengan Alqur’an, Hadis dan Ijtihadnya. Pada hadis lain disebutkan juga Rasul membiarkan para sahabat memakan daging biawak, akan tetapi Nabi sendiri tidak memakan daging tersebut dan tidak mengharamkannya. (H.R Muttafaqun ‘alaih dari Ibnu Umar).
Berupa ketetapan Nabi Muhammad terhadap apa yang datang atau dilakukan para sahabatnya. Beliau membiarkan atau mendiamkan suatu perbuatan yang dilakukan para sahabatnya tanpa memberikan penegasan, apakah beliau membenarkan ataupun menyalahkannya. Sikap Nabi yang demikian itu dijadikan dasar oleh para sahabat sebagai dalil taqriri. Dengan maksud dapat dijadikan hujjah atau mempunyai kekuatan hukum untuk menetapkan suatu ketentuan syarak.
BAB III
KESIMPULAN
Seperti yang telah diuraikan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Al-Quran menekankan bahwa Rasulllah berfungsi menjelaskan maksud firman-firman Allah (QS 16:44). Penjelasan atau bayan tersebut dalam pandangan sekian banyak ulama beraneka ragam bentuk dan sifat serta fungsinyaYang pertama sekadar menguatkan atau menggarisbawahi kembali apa yang terdapat di dalam al-Quran, sedangkan yang kedua memperjelas, merinci, bahkan membatasi, pengertian lahir dari ayat-ayat al-Quran
2. Sunnah mempunyai fungsi yang berhubungan dengan Al-Quran dan fungsi sehubungan dengan pembinaan hukum syara’. Dalam kaitannya dengan Al-Quran, ada dua fungsi Al-Sunnah yang tidak diperselisihkan, yaitu apa yang diistilahkan oleh sementara ulama dengan bayan ta’kid dan bayan tafsir. Yang pertama sekadar menguatkan atau menggarisbawahi kembali apa yang terdapat di dalam Al-Quran, sedangkan yang kedua memperjelas, merinci, bahkan membatasi, pengertian lahir dari ayat-ayat Al-Quran.
3. Jenis-jenis hadis/sunnah nabi ada tiga yaitu:
a. Sunnah Qauliyah yaitu segala bentuk perkataan atau ucapan yang disandarkan kepada Nabi SAW. dengan kata lain hadist tersebut berupa perkataan Nabi SAW yang berisi berbagai tuntutan dan petunjuk syara’, peristiwa-peristiwa dan kisah-kisah, baik yang berkaitan dengan aspek akidah, syari’ah maupun akhlaq.
b. Sunnah Fi’liyah adalah segala yang disandarkan kepada Nabi SAW berupa perbuatannya yang sampai kepada kita
c. Sunnah taqriryah adalah hadist yang berupa ketetapan Nabi SAW terhadap apa yang datang atau yang dilakukan oleh para sahabat Nabi SAW membiarkan atau mendiamkan suatu perbuatan yang dilakukan oleh para sahabatnya, tanpa memberikan penegasan, apakah beliau membenarkan atau mempersalahkannya
DAFTAR PUSTAKA
Abdus Salam Al-Indunisi, Ahmad Nahrawi, Ensiklopedia Imam Syafi’i : Biografi dan Pemikiran Mazhab Fiqih Terbesar Sepanjang Sejarah, terj. Usman Sya’roni, Jakarta: Hikmah: 2008.
http://irhamni-za.blogspot.com/2010/11/hubungan-hadits-dengan-al-quran-oleh.htmldiakses pada tanggal 05-12-2014
Kementerian Urusan Agama Islam, Al-Qur’andan Terjemahan, Arab Saudi: Mujamma’ Al-Malik Fahd Li Thiba’at al-Mushhaf, 1990.
Khathib, Ajaj, Ushul al-Hadits, terj. M.Qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq, cet 1, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998.
Khon, Abdul Majid, Ulumul Hadis, cet. 4, Jakarta: Amzah, 2010.
Prof. Dr. M. Quraish Shihab, MA., Membumikan Al-Quran, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Penerbit Mizan, Bandung, 1992
Ranuwijaya,Utang, Ilmu Hadis, cet. 3, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998.
Shiddieqy, T. M. Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, cet.5, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2010.
Sulaiman PL, M.Noor, Antologi Ilmu Hadits, cet.1, Jakarta: Gaung Persada Press, 2008.
Wahid, Ramli, Abdul Sejarah Pengkajian Hadis di Indonesia, cet. 1, Medan: IAIN Press, 2010.
Wahid, Ramli Abdul, Studi Ilmu Hadis, Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2005.
Yuslem, Nawir, Ulumul Hadis, Jakarta: PT.Mutiara Sumber Widya, 2001.
Zabidi, Imam, Ringkasan Shahih al-Bukhari, terj. Cecep Syamsul Hari dan Tholib Anis cet. 2, Bandung: Mizan, 2009.
0 komentar
Berkomentarlah dengan Bahasa yang Relevan dan Sopan.. #ThinkHIGH! ^_^