Pengumpulan Dan Kondifikasi Hadist

PENGUMPULAN DAN KODIFIKASI HADIS


Pendahuluan
Hadis menurut bahasa adalah sesuatu yang baru, hal ini mencakup sesuatu (perkataan) baik banyak maupun sedikit. Dan juga memiliki arti Khabar (warta), yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain dan ada kemungkinan benar atau salahnya. Adapun hadis menurut istilah adalah segala sesuatu yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad saw setelah diangkat menjadi nabi, yang berupa ucapan, perbuatan, dan taqrir beliau. Oleh sebab itu, sunah lebih umum dari pada hadis.[ Menurut ahli ushul hadis adalah segala pekataan Rasulullah, perbuatan dan taqrir beliau, yang bisa dijadikan dalil bagi hukum syar’i.

Pengumpulan Dan Kondifikasi Hadist

Kaum muslimin meyakini bahwa hadis merupakan sumber hukum utama sesudah Al-quran. Pada hakikatnya hadis tak lain adalah penjelasan dan praktek dari ajaran Al-quran itu sendiri. Secara historis perjalanan hadis tidak sama dengan perjalanan Al-quran. Jika  Al-quran sejak awalnya sudah diadakan pencatatan secara resmi oleh pencatat wahyu atas petunjuk dari Nabi, dan tidak ada tenggang waktu antara turunnya wahyu dengan penulisannya, maka tidak demikian halnya dengan hadis. Jika Al-quran secara normatif tidak ada keraguan akan otentisitasnya, maka tidak demikian dengan hadis.

Keberadaan hadis dalam proses kodifikasinya sangat berbeda dengan Al-quran yang sejak awal mendapat perhatian secara khusus baik dari Rasulullah saw maupun para sahabat berkaitan dengan penulisannya. Bahkan Al-quran telah secara resmi dikodifikasikan sejak masa khalifah Abu Bakar As-Shiddiq yang dilanjutkan dengan Usman bin Affan yang merupakan waktu yang relatif dekat dengan masa Rasulullah.

Sementara itu, perhatian terhadap hadis tidaklah demikian. Upaya kodifikasi hadis secara resmi baru dilakukan pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz khalifah Bani Umayyah yang memerintah tahun 99-101 Hijriyah, waktu yang relatif jauh dari masa Rasulullah saw menyebabkan telah memicu berbagai spekulasi berkaitan dengan otentisitas hadis.

Maka dalam waktu sejauh itu, tak heran banyak hadis-hadis palsu yang tersebar dikalangan umat Islam terdahulu. Sehingga lahirnya rencana dan usaha pembukuan hadis yang merupakan bentuk pengaruh positif dari peristiwa tersebut yang terjadi sejak masa sahabat. Usaha pembukuan hadis tersebut diagendakan sebagai upaya penyelamatan dari kemusnahan dan pemalsuan hadis. Untuk itu dalam makalah ini akan dibahas mengenai pengumpulan dan kodifikasi hadis serta berbagai permasalahan yang berhubungan dengannya.

Pengertian Pengumpulan (Tadwin) bukan Pencatatan dan Penyususnan Hadis
Tadwin artinya kodifikasi (pembukuan)/pencatatan. Sedangkan menurut terminologi tadwin artinya pengumpulan dan penyusunan hadis  yang secara resmi didasarkan perintah khalifah dengan melibatkan beberapa personil yang ahli dalam masalah ini, bukan yang dilakuan secara peseorangan. Lebih dari itu, kata tadwin juga berarti pendokumentasian, penghimpunan atau pengumpulan serta penyusunan. Maka kata tadwin tidak semata-mata berarti penulisan, namun ia mencakup penghimpunan, pembukuan dan pendokumentasian.

Adapun pengertian tadwin hadis yaitu dilakukan secara umum yang melibatkan segala perangkat yang dianggap kompeten terhadapnya, sedang penulisan hadis dilakukan oleh orang-orang tertentu.

Hadis merupakan ucapan, perbuatan, dan persetujuan serta gambaran sifat-sifat Rasulullah. Hadis  adalah sumber hukum Islam yang kedua yang merupakan landasan dan pedoman dalam kehidupan umat Islam setelah Al-quran, Karena itu perhatian kepada hadis yang diterima dari Nabi Muhammad saw dilakukan dengan cara memahami dan menyampaikannya kepada orang yang belum mengetahuinya. Perhatian semacam ini sudah ada sejak Nabi Muhammad saw masih hidup. Namun pada saat itu para perawi hadis sangat berhati-hati dalam menerima maupun meriwayatkan hadis dan menjaga kemurniannya. Pada zaman Rasulullah para sahabatlah yang meriwayatkan hadis yang pertama.



Para sahabat adalah penerima hadis langsung dari Nabi Muhammad saw baik yang sifatnya pelajaran maupun jawaban atas masalah yang dihadapi. Pada masa ini para sahabat umumnya tidak melakukan penulisan terhadap hadis yang diterima. Kalaupun ada, jumlahnya sangat tidak berarti. Hal ini di sebabkan antara lain;
  • Khawatir tulisan hadis itu bercampur dengan tulisan Al-qurun.
  • Menghindarkan umat menyandarkan ajaran Islam kepada hadis saja.
  • Khawatir dalam meriwayatkan hadis salah, dan tidak sesuai dengan yang disampaikan Nabi Muhammad saw.

Setelah Rasulullah saw wafat para sahabat mulai menebarkan hadis kepada kaum muslimin. Rasulullah saw berpesan kepada para sahabat agar berhati-hati dalam memeriksa suatu kebenaran hadis yang hendak disampaikan kepada kaum muslimin. Ketika itu para sahabat tidak lagi berdiam hanya di Madinah. Tetapi meyebar ke kota-kota lain. Pada masa Abu Bakar dan Umar, hadis belum meluas kepada masyarakat. Karena para sahabat lebih mengutamakan mengembangkan Al-quran.

Ada dua cara meriwayatkan hadis pada masa sahabat:
  • Dengan lafal aslinya, sesuai dengan yang dilafalkan oleh Nabi Muhammad saw.
  • Dengan maknanya, bukan lafalnya karena mereka tidak hafal lafalnya.

Cara yang kedua ini rnenimbulkan bermacam-macam lafal (matan), tetapi maksud dan isinya tetap sama. Hal ini membuka kesempatan kepada sahabat-sahabat yang dekat dengan Rasulullah saw untuk mengembangkan hadis, walaupun mereka tersebar ke kota-kota lain.

Faktor-Faktor Yang Mendorong Umar Bin Abdul ‘Aziz Mengkodifiksikan Hadis
Ide penghimpunan hadis nabi secara tertulis untuk pertama kali dikemukakan oleh Khalifah Umar bin al Khattab (23 H=633 M). Ide tersebut tidak dilaksanakan oleh Umar karena Umar merasa khawatir umat Islam akan terganggu perhatiannya dalam mempelajari Al-quran. Pembatalan niat Umar untuk menghimpun hadis nabi itu dikemukakan sesudah beliau melakukan shalat Istikharah selama satu bulan. Kebijaksanaan Umar dapat dimengerti karena pada zaman Umar daerah Islam telah semakin luas dan hal itu akibat jumlah orang yang baru memeluk Islam semakin bertambah banyak.

Memasuki periode tabi’in, sebenarnya kekhawatiran membukukan/kodifikasi hadis tidak perlu terjadi, akan tetapi pada periode ini telah bertabur hadis-hadis palsu yang mulai bermunculan setelah umat Islam terpecah menjadi golongan-golongan, yang semula berorientasi politik berubah menjadi faham keagamaan, seperti Khawarij, Syi’ah, murji’ah, dan lain- lain. Untuk mengukuhkan eksistensi masing- masing golongan mereka merasa perlu menciptakan hadis palsu.

Kemudian semua karya tentang hadis dikumpulkan pada paruh akhir abad ke II H/8M atau selama abad ke-3/9M. Berbagai catatan sejarah menunjukkan bahwa di seputar awal abad ke-II H, sejumlah kecil muhadditsun (ahli hadis) telah mulai menulis hadis, meskipun tidak dalam himpunan yang runtun. Akan tetapi ada beberapa pendapat yang berkembang mengenai kapan kodifikasi secara resmi dan serentak dimulai.
  • Kelompok Syi’ah, mendasarkan pendapat Hasan al-Sadr (1272-1354 H), yang menyatakan bahwa penulisan hadis telah ada sejak masa Nabi dan kompilasi hadis telah ada sejak awal khalifah Ali bin Abi Thalib (35 H).
  • Sejak abad I H, yakni  atas prakarsa seorang Gubernur Mesir ‘Abdul ‘Aziz bin Marwan yang memerintahkan kepada Kathir bin Murrah, seorang ulama Himsy untuk mengumpulkan hadis yang kemudian disanggah Syuhudi Ismail dengan alasan bahwa perintah Abdul ‘Aziz bin Marwan bukan merupakan perintah resmi, legal dan kedinasan terhadap ulama yang berada di luar wilayah kekuasaannya.
  • Sejak awal abad II H yakni masa Khalifah ke-5 Dinasti ‘Abbasiyyah, Umar ibn Abdul ‘Aziz yang memerintahkan kepada semua gubernur dan ulama di wilayah kekuasaannya untuk mengumpulkan hadis-hadis Nabi. Kepada Ibnu Shihab al-Zuhri, beliau berkirim surat yang isinya: “Perhatikanlah hadis Rasulullah SAW, lalu tulislah. Karena aku mengkhawatirkan lenyapnya ilmu itu dan hilangnya para ahli” dan kepada Abu Bakar Muhammad ibn ‘Amr ibn Hazm, beliau menyatakan: “Tuliskan kepadaku hadis dari Rasulullah yang ada padamu dan hadis yang ada pada  Amrah (Amrah binti Abdurrahman, 98 H), karena aku mengkhawatirkan ilmu itu akan hilang dan lenyap”.

Pendapat ketiga ini yang dianut Jumhur Ulama Hadis, dengan pertimbangan jabatan khalifah gaungnya lebih besar daripada seorang gubernur, khalifah memerintah kepada para gubernur dan ulama dengan perintah resmi dan legal serta adanya tindak lanjut yang  nyata dari para ulama masa itu untuk mewujudkannya dan kemudian menggandakan serta menyebarkan ke berbagai tempat. 

Dengan demikian, penulisan hadis yang sudah ada dan marak tetapi belum selesai ditulis pada masa Nabi Muhammad saw, baru diupayakan kodifikasinya secara serentak, resmi dan massal pada awal abad II H yakni masa Umar bin Abdul ‘Aziz, meskipun bisa jadi inisiatif tersebut berasal dari ayahnya, Gubernur Mesir yang pernah mengisyaratkan hal yang sama sebelumnya. Maka dari hal tersebut ada beberapa faktor yang melatar belakangi mengapa khalifah Umar bin Abd ‘Aziz melakukan kodifikasi hadis yaitu:
  • Tidak adanya lagi penghalang untuk menuliskan dan membukukan hadis yaitu kekahawatiran bercampurnya hadis dengan Al-quran, karena arena Al-quran ketika itu telah dibukukan dan disebarluaskan.
  • Munculnya kekhawtiran akan hilang dan lenyapnya hadis karena banyaknya para sahabat yang meninggal dunia akibat usia lanjut dan karena seringnya terjadi peperangan.
  • Semakain maraknya kegiatan pemalsuan hadis yang dilatar belakangi oleh perpecahan politik dan perbedaan mazhab di kalangan umat islam.
  • Semakin luasnya daerah kekuasaan Islam disertai dengan semakin banyak dan kompleksnya permasalahan yang dihadapi umat Islam.

Dengan demikian faktor terpenting pendorong dilakukannya pengkodifikasian hadis adalah untuk menyelamatkan hadis-hadis nabi dari kepunahan dan pemalsuan.

Hadis ditulis pada Abad II Hijriah
1.Penulisan Hadis pada Masa Rasululah SAW
Pada masa Rasulullah keadaan hadis berbeda dengan Al-quran yang belum ditulis secara resmi yaitu terdapat beberapa keterangan dan argumentasi yang kadang-kadang satu dengan yang lainya saling bertentangan, diantaranya adalah: 

a.Larangan Menulis Hadis
Terdapat sejumlah hadis Nabi SAW yang melarang para sahabat menuliskan hadis, di antara hadis tersebut adalah hadis yang berasal dari Said al-Khudri :

لا تكتبو ا عني غير القرأن ومن كتب عني غير القرأن فليمحه-

Artinya: 
"Nabi Muhammad saw bersabda: Janganlah kamu tulis apa-apa yang kamu dengar dari aku selain Al-Quran. Dan barang siapa yang lelah menulis sesuatu dariku selain Al- Quran, hendaklah dihapuskan. " (HR. Muslim)

b.Perintah (kebolehan) Menuliskan Hadis
Hadis-hadis Nabi Muhammad saw yang memerintahkan atau membolehkan menuliskan hadis diantanya adalah:
Dari Anas Ibn Malik dia berkata bahwa Rasullullah saw bersabda: “Ikatlah ilmu itu dengan tulisan (menuliskannya).

c.Sikap para ulama dalam menghadapi kontroversi hadis-hadis mengenai penulisan hadis.
‘Ajjaz al Khatib menyimpulkan ada beberapa pendapat yang berfariasi dalam rangka mengkompromikan dua kelompok hadis yang terlihat saling bertentangan dalam hal penulisan tersebut yakni : 
  • Larangan menuliskan hadis terjadi pada masa awal islam yang ketika itu dikhawatirkan terjadi pencampur adukan antara hadis dengan al-quran. Tetapi setelah umat islam bertambah banyak dan mereka telah dapat membedakan antara hadis dan al-quran, maka hilanglah kekhawatiran itu dan mereka diperkenankan untuk menuliskannya.
  • Larangan tersebut ditujukan terhadap mereka yang memiliki hafalan yang kuat, sehingga mereka tidak terbebani dengan tulisan; sedangkan kebolehan diberikan kepada mereka yang hafalannya yang kurang baik.
  • Larangan tersebut sifatnya umum, sedangkan kebolehan menulis diberikan khusus kepada mereka yang pandai membaca dan menulis sehingga tidak terjadi kesalahan dalam menuliskannya.

2.Penulisan Hadis Pada Masa Sahabat dan Tabi’in
Kegiatan penulisan hadis pada masa Rasulullah saw bagi mereka yang diberi kelonggaran oleh Rasulullah untuk melakukannya, namun para sahabat pada umumnya menahan diri dari melakukan penulisan hadis dimasa pemerintahan Khulafa al-Rasidin.

Hal tersebut adalah karena besarnya keinginan mereka untuk menyelamatkan Al-quran dan sekaligus Sunah (Hadis), salah seorang sahabat yakni Umar menyatakan penolakannya terhadap penulisan hadis adalah disebabkan adanya kekhawatiran berpalingnya umat Islam untuk menuliskan sesuatu yang lain selain Al-quran dan melontarkan kitab Allah (Al-quran).

Justru itu beliau melarang umat Islam untuk menuliskan sesuatu yang lain dari Al- quran, termasuk hadis. Lain halnya dengan para Tabi’in, sikap mereka dalam hal penulisan hadis adalah mengikuti jejak para sahabat. Hal ini tidak lain adalah karena para Tabi’in memperoleh ilmu, termasuk didalamnya hadis-hadis Nabi Muhammad saw adalah dari para sahabat. Akan tetapi tatkala Umar melihat bahwa pemeliharaan terhadap Al-quran telah aman dan terjamin, beliau pun mulai menuliskan sebagian hadis nabi yang selanjutnya dikirimkan kepada sahabat dan pegawainya.

3.Hadis Pada Abad Ke II Hijriyah
Pada periode ini hadis-hadis Rasulullah saw mulai ditulis dan dikumpulkan secara resmi. Adapun Khalifah yang memerintah pada saat itu adalah Umar ibn Abdul ‘Aziz dari Dinasti Umayyah. Umar ibn Abdul ‘Aziz mempunyai kepentingan di dalam kepemimpinannya untuk menulis dan membukukan hadis secara resmi, [ ] hal ini didadasarkan pada beberapa riwayat, Umar ibn Abdul ‘Aziz khawatir akan hilangnya hadis dan wafatnya para ulama hadis. [ ] Para sahabat telah berpencar di berbagai daerah, bahkan tidak sedikit jumlahnya yang sudah meninggal dunia. 

Sementara hadis-hadis yang ada di benak mereka belum tentu semuanya sempat diwariskan kepada generasi berikutnya. Karena itu, khalifah yang terkenal taqwa ini mengupayakan pengumpulan dan penulisan hadis. Ada perbedaan dalam penghimpunan hadis dengan Al-quran, hadis mengalami masa yang lebih panjang sekitar tiga abad dibanding dengan Al-quran yang hanya memerlukan waktu relatif  lebih pendek.

Yang dimaksud dengan periodeisasi penghimpunan hadis disini adalah fase-fase yang telah ditempuh dan dialami dalam sejarah pembinaan dan perkembangan hadis, sejak Rasulullah saw masih hidup sampai terwujudnya kitab-kitab hadis yang dapat disaksikan sekarang ini.

Pada masa pemerintahan Umar ibn Abdul ‘Aziz, Islam sudah meluas sampai ke daerah-daerah yang tentunya pemahaman dan pemikiran mereka khususnya tentang keislaman itu sendiri adalah hadis. Khalifah berinisiatif untuk mengumpulkan hadis-hadis tersebut dikarenakan semakin meluasnya perkembangan Islam yang umumnya orang-orang yang baru memeluk agama Islam butuh pengajaran yang didasarkan pada hadis-hadis Rasulullah saw. 

Selain itu gejolak politik yang terjadi di kalangan umat Islam, ada beberapa kelompok yang mencoba menyelewengkan sabda-sabda Rasulullah saw yang akhirnya akan merusak ajaran kemurnian Islam itu sendiri. Oleh karena itu Umar ibn Abdul ‘Aziz telah menyusun suatu gerakan yang penuh semangat dalam rangka penyebarluaskan dakwah Islamiyah.

Menurut Ajjaj al-Khathib bahwa kegiatan pembukuan hadis telah diprakarsai oleh ayahnya Khalifah Umar, yaitu Abdul Aziz yang ketika itu menjabat sebagai gubernur Mesir. Akan tetapi karena jabatannya sebagai gubernur maka jangkauannya tidak menyeluruh, oleh karena itu diteruskan oleh Umar setelah diangkat menjadi Khalifah. Tentunya pengkodifikasian hadis begitu cepat merambah ke daerah-daerah yang dikuasai oleh gubernur dan langsung memberikan instruksi agar menulis dan mengumpulkan hadis yang ada pada sahabat dan seterusnya disebarluaskan. Begitu juga ia mengutus para ulama untuk mengumpulkan hadis-hadis Rasulullah saw, hadis yang dipercaya kebenarannya ialah hadis yang telah diriwayatkan oleh orang-orang yang memiliki sifat menjauhkan diri dari dosa dan taqwa.   

Tuduhan yang dilontarkan kepada Imam Syihabuddin Al-Zuhri
Sarjana barat yang pertama kali melakukan kajian Hadis adalah Ignaz Goldziher, seorang orientalis Yahudi kelahiran Hongaria yang hidup antara tahun1850-1921 M. Pendapat yang dominan di kalangan para sarjana dan ilmuan adalah bahwa hadis-hadis itu hanya disebarkan lewat mulut ke mulut sampai akhir abad pertama. 

Perlu kita ketahui bahwa kecintaan dan kepatuhan para sahabat kepada Nabi Muhammad saw sungguh demikian mendalam, karenanya dalam menuliskan risalah ajaran Islam, mereka melakukannya secara lisan seperti Nabi lakukan terhadap mereka. Kondisi seperti itu secara tidak langsung mengajarkan kepada kita bahwa hal kepatuhan juga sebagian dari agama.

Adapun pandangan para orientalis tentang penulisan pertama hadis yang dilakukan oleh  Imam Syihabuddin al-Zuhri atas perintah Umar ibn Abdul ‘Aziz adalah palsu, dengan tuduhan Goldziher terhadap Imam Syihab al-Zuhri yang telah melakukan pemalsuan hadis dan ia juga mengubah teks-teks sejarah yang berkaitan dengan Syihab al-Zuhri, sehingga menimbulkan kesan bahwa Imam Syihab al-Zuhri memang mengakui dirinya sebagai pemalsu hadis. Menurut Goldziher, Syihab al-Zuhri pernah berkata, inna haula'I al-umara akrahuna 'ala kitabah ahadist (para penguasa itu memaksa kami untuk menulis Hadis). Kata 'ahadist' dalam kutipan Goldizer tidak menggunakan artikel "al" (al-ahadist) yang dalam bahasa Arab memiliki makna definitif (ma'rifah), sementara dalam teks yang asli, yang merupakan ucapan Imam Syihab al-Zuhri yang sebenarnya, seperti yang terdapat dalam kitab Ibn Sa'ad dan Ibn 'Asakir, adalah 'al-ahadist' yang berarti hadis-hadis yang telah dimaklumi secara definitif yaitu hadis-hadis yang berasal dari Nabi Muhammad. Para ulama menyatakan, tidak ada bukti historis yang mendukung teori Goldziher, bahkan sebaliknya.

Pendapat ini tentunya tidak mengkaji tentang sejarah Islam dari awal, yang mana ungkapan-ungkapan Rasulullah saw yang belum ditulis hanya dengan lisan dianggap sebagai ucapan biasa saja. Padahal bila kita rujuk pada pengertian hadis itu sendiri bahwa segala sesuatu yang lahir dari perilaku Nabi Muhammad saw secara keseluruhan itu merupakan bahan yang menjadi hukum atau pelajaran pada generasi sesudahnya.

Kesimpulan
Hadis adalah segala sesuatu yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad saw setelah diangkat menjadi nabi yang berupa ucapan, perbuatan, dan taqrir beliau. Kaum muslimin meyakini bahwa hadis merupakan sumber hukum utama sesudah Al-quran yang secara historis perjalanan hadis tidak sama dengan perjalanan Al-quran, yaitu keberadaan hadis dalam proses kodifikasinya sangat berbeda dengan Al-quran. Pada zaman Rasulullah para sahabatlah yang meriwayatkan hadis yang pertama. Para sahabat adalah penerima hadis langsung dari Nabi Muhammad saw baik yang sifatnya pelajaran maupun jawaban atas masalah yang dihadapi.

Akan tetapi pada masa ini para sahabat umumnya tidak melakukan penulisan terhadap hadis yang diterima. Kalaupun ada, jumlahnya sangat tidak berarti. Hal ini di sebabkan antara lain;
  • Khawatir tulisan hadis itu bercampur dengan tulisan Al-quran.
  • Menghindarkan umat menyandarkan ajaran Islam kepada hadis saja.
  • Khawatir dalam meriwayatkan hadis salah, dan tidak sesuai dengan yang disampaikan Nabi Muhammad saw.

Dengan demikian, penulisan hadis yang sudah ada dan marak tetapi belum selesai ditulis pada masa Nabi Muhammad saw, baru diupayakan kodifikasinya secara serentak, resmi dan massal pada awal abad II H yakni masa Umar bin Abdul ‘Aziz. 

Adapun faktor-faktor yang mendorong Umar ibn Abdul ‘Aziz melakukan pengumpulan dan pengkodifikasian hadis pada periode tersebut diantaranya adalah :
  • Tidak adanya lagi penghalang untuk menuliskan dan membukukan hadis yaitu kekahawatiran bercampurnya hadis dengan Al-quran, karena arena Al-quran ketika itu telah dibukukan dan disebarluaskan.
  • Munculnya kekhawtiran akan hilang dan lenyapnya hadis karena banyaknya para sahabat yang meninggal dunia akibat usia lanjut dan karena seringnya terjadi peperangan.
  • Semakain maraknya kegiatan pemalsuan hadis yang dilatar belakangi oleh perpecahan politik dan perbedaan mazhab di kalangan umat islam.
  • Semakin luasnya daerah kekuasaan Islam disertai dengan semakin banyak dan kompleksnya permasalahan yang dihadapi umat Islam.


Daftar Kepustakaan
Abu al Faid Muhammad bin Muhammad Ali al Farisi, Jawahir al Usul al Hadits fi IlmiHadits al Rosul, Bairut: Libanon, 1992.
Abuddin Nata, Al-qur’an dan Hadist, Jakarta: Raja Girafindo Persada, 1996.
H. Mudasir, Ilmu Hadist, Bandung: Pustaka Setia, 2008.
Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 2003.
Muhammad Ujaj al Khotib, Ushul al HaditsUlumuhu wa Mushtholahuhu, Bairut: Libanon, 1992.
Ushul al HaditsUlumuhu, Bairut: Libanon, 1992.
M. Zuhri, Hadits Nabi, Telaah Historis dan Metodologis, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997.
Nasir Yuslem,Ulumul Hadist, Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 2001.
Shubhi ash Shaleh, ’Ulum al-Hadist wa Musthalahuh, Libanon: Dar al-‘llm al-Malayin, 1977.
Shubudi Islami, Pengantar Ilmu Hadist, Bandung: Angkasa, 1991.
Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Menurut Pembela, Pengingkar dan Pemalsunya, Jakarta: Gema Insani Press, 1995.
Zainul Arifin, Studi Hadis, Surabaya: Alpha, 2005.


Not: Bagi yang menginginkan file dalam bentuk microsoft woard,  yang lengkap dengan referensi (Footnot), bisa menghubungi admin langsung melaui facebook atau pun BBM.






Pengumpulan Dan Kondifikasi Hadist
Item Reviewed: Pengumpulan Dan Kondifikasi Hadist 9 out of 10 based on 10 ratings. 9 user reviews.

nice blog kalo ada tanggal penulisan atau waktu tulisan di post lebih bagus sih biar bisa jadi literatur

Iya mas terimakasih ya masukannya

Emoticon? nyengir

Berkomentarlah dengan Bahasa yang Relevan dan Sopan.. #ThinkHIGH! ^_^

Komentar Terbaru

Just load it!