Makalah Ikhtilafu Al-Hadist

BAB I
PENDAHULUAN


A.Latar Belakang
Hadis Nabi Muhammad yang sampai pada kita hari ini banyak jumlahnya. Tidak semuanya hadis Nabi itu dapat kita terima secara mutlak. Hal ini disebabkan hadis Nabi tersebut masih terbagi ke dalam berbagai bentuk hadis; seperti hadits mutawatir, sahih, hasan dan dhaif serta maudhu’. Untuk sebagai hujjah, hanya hadits mutawatir, sahih, dan hasan yang bisa dipedomani.

Makalah Ikhtilafu Al-HadistPara sabat pada umumnya mulai mengambil bahkan mengamalkan hadis secara langsung dengan melihat atau mendengar hadis. Antara satu hadis dengan hadis yang lain  muncul perbedaan dari segi teksnya dan ini dapat menimbulkan kecurigaan yang menganggap bahwa hadis tersebut tidak shahih. Dari sebab inilah perlu untuk membahas perbedaan hadis atau ikhtilaf hadis, tujuannya adalah untuk memecahkan suatu masalah yaitu bertentangannya dua hadis dari segi matan sedangkan dari segi sanadnya berkualitas Shahih.

Suatu prinsip yang ditekankan As-Syafi’i dalam menghadapi hadis-hadis mukhtalif, terkandung dalam pernyataan sebagai berikut: Yang artinya: “Jangan sekali-kali mempertentangkan hadis-hadis Rasulullah saw. satu dengan yang lainnya selama mungkin ditemukan jalan (untuk dikompromikan) agar hadis-hadis tersebut dapat sama-ama diamalkan. Jangan telantarkan yang satu lantaran yang lain karena kita punya kewajiban.”

Adanya hadis-hadis mukhtalif (bertentangan) menyangkut suatu masalah tertentu, secara praktis, hal ini dapat menimbulkan kebingungan dalam mengambil kepastian ajaran (ketentuan hukum) yang mengatur masalah tersebut, yang manakah diantaranya yang harus diikuti dan diamalkan. Supaya kita tidak terjebak di dalam memahami hadits yang kelihatannya bertentangan, maka kita perlu membahas suatu kajian hadis yaitu hadis mukhtalif dan penyelesaiannya.




BAB II
PEMBAHASAN


A.Pengertian Ilmu Mukhtalif Hadis
Mukhtalif al-Hadîts menurut pengertian yang diberikan para ulama mempunyai makna yang berbeda-beda. Al-Hakim al-Naisaburi [w. 405 H.] menulis dalam bukunya, Ma’rifat ‘Ulum al-Hadîts, sebuah karya yang dianggap sebagai literatur pertama dan tertua dalam Ulum al-Hadîts, bahwa Mukhtalif al-Hadîts adalah, 

سنن لرسول الله صلى الله عليه وسلم يعارضها مثلها فيحتج أصحاب المذاهب بأحدهما وهما في الصحة والسقم سيان

“Sunah-sunah Rasulullah saw. yang bertentangan dengan sesamanya, lalu para ulama memakai salah satunya sebagai dalil, di sisi lain keduanya setara dalam kesahihan dan kelemahannya”. 

Sedangkan al-Nawawi [w. 676 H.], yang hidup beberapa abad setelah al-Naisaburi, mendefinisikannya dengan, 

أن يأتي حديثان متضادان في المعنى ظاهرا فيوفق بينهما او يرجح أحدهما
Dua hadis yang secara lahiriah maknanya saling bertentangan, lalu dikompromikan atau dikuatkan salah satunya.” 

Pada beberapa abad berikutnya, al-Suyuthi [w. 911 H.] mendefinisikan dengan,
حديث قد أباه اخر# فالجمع إن أمكن لاينافر

“Hadis yang ditolak oleh hadis lain, yang bila mungkin hendaknya di-jam’u.” 

Pengertian-pengertian yang penulis kutip di atas memiliki beberapa titik persamaan. Sebagian memberikan penjelasan yang tidak diberikan oleh yang lain. Kesamaan masing-masing definisi itu di antaranya [1] adanya pertentangan antara dua hadis, dan [2] cara penyelesaian yang ditawarkan. Menurut definisi al-Hakim, dua hadis yang bertentangan di sini harus memiliki kesetaraan dalam kesahihan dan kelemahan. Jika tidak setara maka tidak dapat disebut sebagai hadis mukhtalif. Sekalipun keduanya bertentangan. Semisal hadis sahih bertentangan dengan hadis yang lemah. Hanya pertentangan antara hadis sahih dengan hadis sahih lainnya, atau hadis yang lemah dengan hadis lemah lainnyalah yang dapat disebut Mukhtalif. Pengertian ini tentu saja tidak didapatkan dalam dua pengertian terakhir. Pengertian semacam ini tentu akan berbeda dengan pengertian yang dibawakan oleh pakar kontemporer Mahmud al-Thahhan seperti akan dijelaskan di bawah yang menegaskan kedua hadis itu harus maqbul [diterima], yang tentu saja harus berstatus sahih. Sehingga pertentangan yang terjadi antara dua hadis yang lemah-tidak diterima [dha’if-ghairu maqbul] tidak disebut Mukhtalif. Berbeda dengan definisi al-Hakim yang masih memberikan ruang bagi pertentangan hadis lemah. Padahal, menurut kaidah umumnya, hadis yang tidak diterima harusnya dimasukkan ke tempat sampah. 

Sedangkan dari definisi al-Nawawi dapat ditarik pemahaman tentang bentuk pertentangan yang dimaksud. Yakni pertentangan yang tidak mungkin dipertemukan [tarhadud] menurut pengertian lahiriahnya. Jadi menyisakan pengertian hakikinya yang masih dimungkinkan dapat dipertemukan. Kemungkinan inilah yang akhirnya memunculkan solusi-solusi penyelesaian berupa taufiq atau tarjih. Sedangkan definisi al-Suyuthi terkesan lebih luas karena tidak menjelaskan kesetaraan kesahihan dua hadis, dan seperti apa bentuk pertentangannya. Dengan demikian dimungkinkan pertentangan itu berasal dari dua hadis yang berbeda status kesahihannya, dan pertentangan yang ada bersifat hakiki.

Kemudian untuk menutupi kekurangan yang ada dalam pengertian di atas, pakar hadis kontemporer memberikan pengertian yang lebih definitif. Mahmud al-Thahhan mengatakan, 

الحديث المقبول المعارض بمثله مع إمكان الجمع
“Hadis yang diterima yang dipertentangkan dengan sesamanya disertai adanya kemungkinan jam’u.” 

Ajjaj al-Khatib memberikan pengertian,

العلم الذي يبحث في الاحاديث التي ظاهرها متعارض فيزيل تعارضها أو يوفق بينهما كما يبحث في الاحاديث التي يشكل فهمها أوتصورها فيدفع إشكالها ويوضح حقيقتها
“Ilmu yang membahas hadis-hadis yang lahiriahnya bertentangan, lalu dihilangkan sisi pertentangannya atau di-taufiq antara keduanya, sebagaimana dibahas tentang kejanggalan pemahaman atau penggambaran atas hadis-hadis, lalu ditolak kejanggalannya dan dijelaskan hakikat sebenarnya.” 

Pengertian yang diberikan Thahhan sekalipun lebih jelas dengan menyebutkan sisi diterimanya dua hadis yang bertentangan, yang secara tidak langsung menunjukkan kesahihannya, disertai adanya kemungkinan jam’u yang tentu saja dalam hal ini mengecualikan hadis Mudhtharib, karena tidak menyisakan ruang untuk jam’u, namun tidak dijelaskan solusinya. Sekalipun demikian, pengertian ini lebih mendekati standar pembuatan definisi yang melarang dimasukkannya hal-hal di luar hakikat objek yang didefinisikan. Solusi merupakan sesuatu yang berada di luar bentuk hadis yang menjadi objek kajian kita. Atas dasar inilah penulis memilih definisi yang dibawakan Mahmud al-Tahhan di atas sebagai cara pandang terhadap Mukhtalif al-Hadits.  

Sedangkan Ajjaj al-Khathib telah membahas Mukhtalif al-Hadîts sebagai sebuah ilmu. Sebuah kajian yang menempatkan hadis-hadis bermasalah sebagai objeknya. Permasalahan yang dimaksud di sini adalah pertentangan lahiriah yang dikandung olehnya untuk dihilangkan dengan cara-cara tertentu. Dari seluruh definisi yang ditawarkan di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan; terjadi pertentangan yang melibatkan dua hadis, pertentangan bersifat lahiriah, pertentangan itu diselesaikan dengan beberapa cara.

B.Faktor Penyebab Hadis Mukhtalif
Paling tidak ada empat faktor yang menyebabkan hadis-hadis tampak saling bertentangan, yaitu:
  1. Faktor internal hadis (al-’amil al-dakhili), yakni menyangkut internal redaksi teks hadis yang memang terkesan bertentangan.
  2. Faktor eksternal (al-’amil al-khariji), yakni faktor yang disebabkan oleh konteks waktu dan tempat (geografis) di mana Nabi Saw menyampaikan hadis dan kepada siapa beliau berbicara.
  3. Faktor metodologi (al-bu’du al-manhaji),yakni berkaitan dengan proses dan cara seseorang memahami hadis tersebut.
  4. Faktor ideologi (al-bu’du al-madzhabi), yakni berkaitan dengan ideologi atau madzhab seseorang ketika memahami suatu hadis. 


C.Metode Penyelesaian Hadis Mukhtalif
Secara garis besar penyelesaian Ta’arudh Al-Adillah terbagai menjadi dua metode yang digunakan oleh mujtahid yaitu Metode Hanafiyah dan Metode Syafi’iyah. Hanafiyah Membagi Usaha-usaha Penyelesaian Ta’arudh al-Adillah menjadi empat tahap yaitu Naskh, Tarjih, Jam’u wa Taufiq, dan Tasaqut al-Dalilain.  Sedangkan Metode Syafi’iyah digunakan oleh ulama Syafi’iyah, yang juga digunakan oleh ulama Malikiyah, Hanabilah dan zahariyah. Terbagi menjadi empat tahap yaitu: Al-Jam’u wa Taufiq, Tarjih, Naskh, dan Tasaqut al-Dalilain. 

Imam Syafi’i mengemukakan empat jalan keluar: pertama, mengandungmakna universal (mujmal) dan lainnya terperinci (mufassar); kedua,mengandung makna umum dan lainnya khusus; ketiga, mengandung makna penghapus dan yang lainnya dihapus; dan keempat, keduanya mungkin dapat diamalkan.  Ibn Qutaybah menambahkan bahwa untuk menilai suatu matanhadis harus menggunakan ilmu asbab wurud al-hadis.

Adapun cara yang ditempuh para ulama untuk menyelesaikan hadis-hadis yang bertentangan ini tidak sama antara yang satu dengan yang lainnya. Ada yang menggunakan satu cara dan ada juga yang menggunakan banyak cara. Metode-metode yang digunakan antara lain :

1.Metode al-Jam’u wa al-Taufiq (Kompromi)
Metode ini dinilai lebih baik daripada melakukan tarjih (mengumpulkan salah satu dari dua hadits yang tampak bertentangan). Metode al-jam’u wa at-taufiq ini tidak berlaku bagi hadits-hadits dha’if (lemah) yang bertentangan dengan hadis-hadis yang shahih. Maksudnya adalah penyelesaian dengan cara menelusuri titik temu kandungan makna masing-masing sehingga maksud sebenarnya yang dituju oleh hadis-hadis itu dapat dikompromikan. Dengan kata lain, mencari pemahaman yang tepat tentang hadis-hadis yangmenunjukkan kesejalanan dan keterkaitan makna sehingga masing-masingnya dapat diamalkan sesuai dengan tuntunan.

Contoh aplikasi dari metode al-jam’u wa at-taufiq adalah hadis tentang cara berwudhu Rasulullah Saw,. Hadis pertama menyatakan bahwa Rasulullah Saw. berwudhu dengan cara membasuh wajah dan kedua tangannya, serta mengusap kepala satu kali, sebagaimana tampak dalam hadits berikut ini:

حَدَّثَنَا الْرَّبِيْعُ ، قَالَ : أَخْبَرَنَا الْشَّافِعِيُّ ، قَالَ : أَخْبَرَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ مُحَمَّدٍ ، عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ ، عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَضَّأَ وَجْهَهُ وَيَدَيْهِ ، وَمَسَحَ بِرَأْسِهِ مَرَّةً مَرَّةً.

Ar-Rabi’ telah bercerita kepada kami, dia berkata: Imam asy-Syafi’i memberi kabar kepada kami, Ia berkata: Abdul Aziz ibn Muhammad telah memberi kabar kepada kami dari Zaid ibn Aslam dari Atha’ ibn Yasar dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah Saw. berwudhu membasuh wajah dan kedua tangannya, serta mengusap kepala satu kali-satu kali.

Sementara dalam riwayat lain dinyatakan bahwa Nabi Saw. berwudhu dengan membasuh wajah dan kedua tangannya, serta mengusap kepala tiga kali, sebagaimana terbaca dalam hadits berikut ini:

أَخْبَرَنَا الْشَّافِعِيُّ ، قَالَ : أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ ، عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ ، عَنْ أَبِيهِ ، عَنْ حُمْرَانَ مَوْلَى عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّأَ ثَلاَثًا ثَلاَثًا.

Imam Asy-Syafi’i telah memberi kabar kepada kami, dia berkata Sufyan ibn ‘Uyainah telah memberi kabar kepada kami, dari Hisyam bin ‘Urwah dari ayahnya, dari Hamran maula “Utsman ibn ‘Affan bahwa Nabi Saw. berwudhu dengan mengulangi tiga kali (dalam membasuh dan mengusap).

Kedua riwayat tersebut tampak bertentangan namun keduanya sama-sama shahih dan akhirnya diselesaikan dengan metode al-Jam’u wa at-Taufîq dengan komentar Imam asy-Syafi’i dalam kitab Ikhtilaf al- Hadits :

قَالَ الشَّافِعِيُّ: وَلاَ يُقَالُ لِشَيْءٍ مِنْ هَذِهِ الأَحَادِيثِ: مُخْتَلِفٌ مُطْلَقًا، وَلَكِنَّ الْفِعْلَ فِيهَا يَخْتَلِفُ مِنْ وَجْهِ أَنَّهُ مُبَاحٌ لاِخْتِلاَفِ الْحَلاَلِ وَالْحَرَامِ ، وَالأَمْرِ وَالنَّهْيِ، وَلَكِنْ يُقَالُ: أَقَلُّ مَا يَجْزِي مِنَ الْوُضُوءِ مَرَّةٌ، وَأَكْمَلُ مَا يَكُونُ مِنَ الْوُضُوءِ ثَلاَثٌ.

Dengan terjemahan bebasnya adalah Imam asy-Syafi’i berkata: “hadits-hadits itu tidak bisa dikatakan sebagai hadits yang benar–benar kontradiktif. Akan tetapi bisa dikatakan bahwa berwudhu dengan membasuh wajah dan kedua tangannya, serta mengusap kepala satu kali, sudah mencukupi, sedangkan yang lebih sempurna dalam berwudhu adalah mengulanginya tiga kali (dalam hal membasuh wajah dan mengusap tangan serta mengusap kepala). 

Contoh Hadis yang lain adalah :
ثُمَّ قَالَ لَهُ : كَمْ اعْتَمَرَ النَّبِيُّ ص ؟ قَالَ : أَرْبَعٌ.
Artinya: …… Kemudian (‘Urwah) bertanya kepada (Ibnu ‘Umar) : “Berapa kalikah nabi saw berumrah? “jawabnya: “empat kali”. (H. R. Bukhari).

عَنْ قَتَادَةَ أَنَّ أَنَسًا أَخْبَرَهُ أَنَّ رَسُوْلَ الله ص اعْتَمَرَ أَرْبَعَ عُمَرٍ كُلَّهُنَّ فِي ذِيْ الْقَعْدَةِ إِلاَّ الّتِي مَعَ حَجَّتِهِ.

Artinya: Dari Qatadah, bahwa anas mengkhabarkan kepadanya, bahwa Rasulullah saw. Ber’umroh empat kali, semua ‘umrah itu dalam bulan Dzul-Qa’dah melainkan ‘umrah yang (beliau kerjakan) bersama hajinya. (H.R. Muslim).

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَّ ص اعْتَمَرَ ثَلاَثَ عُمَرٍ.
Artinya: Dari ‘Aisyah, bahwa nabi saw. Ber’umrah tiga ‘umrah.

قَالَ البَراءُ بْنُ عَازِبٍ : اعْتَمَرَ رَسُوْلُ اللهِ ص فِيْ ذِي الْقَعْدَةِ قَبْلَ أَنْ يَحِجَّ مَرَّتَيْنِ.

Artinya: Telah Bara’ bin ‘Azib: Rasulullah saw pernah ber’umrah dalam bulan Dzul-Qo’dah dua kali, sebelum beliau naik haji. (H. R Bukhari).

Riwayat yang pertama dan kedua, menunjukkan bahwa nabi saw. Ber’umrah empat kali. Riwayat ketiga menyebut tiga kali, sedang riwayat ke empat menyebutkan dua kali. Zhahirnya riwayat-riwayat tersebut berlawanan antara yang satu dan yang lain. Karena itu  riwayat-riwayat itu dikatakan mukhtalif. Sungguhpun begitu, maka keterangan-keterangan yang berlainan itu, bisa kita dudukkan dengan cara demikian:

Umrah Nabi saw adalah empat kali sebagaimana tersebut dalam riwayat yang pertama dan kedua. Dalam riwayat yang ketiga Aisyah menyebut tiga umrah saja. Yang keempatnya tidak ia nyatakan, karena umrah ini Nabi kerjakan dalam bulan haji, sedangkan yang hendak Aisyah terangkan itu adalah umrah dalam bulan Dzul-Qa’dah saja.Dalam riwayat keempat Bara’ menyebut dua umrah. Yang dua lagi tidak disebut-sebut.

Umrah yang tidak disebut ini, ialah : 1) umrah Nabi saw bersama hajinya, dan 2) umrah Ji’ranah.Bara’ tidak membawakan dua umrah, karena:Umrah bersama haji itu, Nabi mengerjakannya dalam bulan haji, sedang yang mau ditunjukkan kepada orang. Umrah Nabi dalam bulan Dzul-Qa’dah yang tersebut dalam riwayat itu. Umrah Ji’ranah boleh jadi Bara’ tidak mengetahui, sebagaimana tidak diketahui juga oleh sahabat-sahabat yang lain. Memang hal Ji’ranah ini tidak umum diketahui sahabat. Dengan cara mencocokkan ini (jama’) terpakailah semua keterangan yang nampaknya berlawanan itu.

Mukhtaliful hadis ini, mestinya ada pada hadis yang shah (shahih atau hasan), karena kalau satu hadis berderajat shah, sedang yang lainnya lemah dan kelihatan bertentangan, tidak perlu kita memakai yang lemah, cukup kita mengambil yang shah saja.

2.Metode Tarjih (Memilih yang terkuat)
Dalam pengertian sederhana, tarjih  adalah suatu upaya komparatif untuk menentukan sanad yang lebih kuat pada hadits-hadits yang tampak ikhtilaf. Tarjih merupakan upaya terakhir yang mungkin dilakukan dalam menyelesaikan hadits-hadits mukhtalif ketika jalan taufiq dan nasakh mengalami kebuntuan. Jika pada langkah terakhir ini ikhtilaf  juga tidak dapat diselesaikan, maka hadits-hadits tersebut terpaksa dinyatakan tidak dapat diamalkan (tawaqquf).  

Tarjih dapat diartikan sebagai memperbandingkan dalil-dalil yang nampak saling bertentangan untuk dapat diketahui manakah di antaranya yang lebih kuat dibandingkan dengan yang lain. Jadi dalam kasus hadis-hadis mukhtalif yang tidak dapat dikompromikan dan diantaranya tidak terjadi nasakh, maka hadis-hadis tersebut diperbandingkan. Kualitas masing-masing hadis dikaji lebih jauh agar dapat diketahui manakah di antaranya yang lebih kuat dan lebih tinggi nilai hujjahnya dibandingkan yang lainnya.

Contohnya : 
بْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ قَالَ : تَزَوَّجَ رَسُوْلُ اللهِ ص وَهُوَ مُحْرِمٌ.
Artinya: Dari Ibnu Abbas, sesungguhnya ia pernah berkata: “Rasulullah saw telah kawin dengan Maimunah, sedang beliau dalam ihram.(H. R. Muslim).

عَنْ يَزِيْدَ بْنِ الأَصَمِّ قَالَ : حَدَّثَنِيْ مَيْمُوْنَةُ بِنْتُ الحَارِثِ أَنَّ رَسُوْلُ اللهِ ص تَزَوَّجَهَا وَهُوَ حَلَالٌ.
Artinya: dari Yazid bin Al-Asham, ia berkata: “telah menceritakan kepadaku, Maimunah bintul Haris, bahwa Rasulullah saw kawin dengan dia sedang Nabi dalam ihlal.(H. R. Muslim)

Riwayat yang pertama mengatakan bahwa Nabi kawin dengan Maimunah dalam ihram, sedang yang kedua menetapkan dalam ihlal. Cerita-cerita ini bertentangan. Oleh karena pertentangan itu, maka dua riwayat tersebut, perlu di jama’ atau di tarjih. Kita memeriksa, adakah terdapat keterangan yang menguatkan pendapat Ibnu Abbas itu? Sesudah kita selidiki, tidak bertemu satupun bantuan bagi riwayat Ibnu Abbas yang mengatakan Nabi kawin dalam ihram.

Riwayat kedua, yaitu yang dari Yazid bin Asham. Kita dapati ada yang membantunya, yaitu dari empat jurusan: Yang meriwayatkan dalam ihlal, adalah Mimunah sendiri. Jadi lebih boleh diterima daripada orang lain menceritakannya. Abu Rafi’ meriwayatkan kejadian perkawinan itu, dalam ihlal juga. Diantara sahabat ada yang menyalahkan pendapat Ibnu Abbas tentang dalam ihram, tetapi terhadap riwayat Abu Rafi’ mereka tidak membantah.

Omongan Maimunah dalam cerita Abu Rafi’ itu, setuju dengan larangan Nabi saw tentang “tidak boleh kawin dalam ihram”, yaitu
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص لاَ يَنْكِحُ الْمُحْرِمُ وَلاَ يُنْكِحُ.
Artinya: Rasulullah saw. Bersabda: Orang yang didalam ihram tidak boleh kawin, dan tidak boleh mengawinkan orang lain. (H. R Muslim)

Dengan bantuan empat jurusan itu, jadi kuatlah riwayat yang mengatakan Nabi kawin dalam ihlal, serta tertolaklah riwayat yang mengkhabarkan dalam ihram. Riwayat yang kuat itu disebut: Rajih, artinya: yang berat atau yang kuat. Sedangkan riwayat yang tidak dipakai itu dikatakan: Marjuh, artinya: yang diberati, yakni yang tidak kuat

Contoh
الْوَائِدَةُ وَالْمَوْؤُودَةُ فِي النَّارِ
Artinya : Perempuan yang mengubur bayi hidup-hidup dan bayinya akan masuk neraka (HR Abu Dawud).

Hadits tersebut diriwayatkan oleh imam Abu Dawud dari Ibnu Mas’ud dan Ibn Abi Hatim. Konteks munculnya hadits tersebut (Sabab Wurudnya) adalah bahwa Salamah Ibn Yazid al-Ju’fi pergi bersama saudaranya menghadap Rasulullah Saw,. Seraya bertanya: “Wahai Rasul sesungguhnya saya percaya Malikah itu dahulu orang yang suka menyambung silaturrahmi, memuliakan tamu, tetapi ia meninggal dalam keadaan jahiliyah. Apakah amal kebaikannya itu bermanfaat baginya? Nabi menjawab: tidak. Kami berkata: dahulu ia pernah mengubur saudaranya perempuanku hidup-hidup di zaman Jahiliyah. Apakah amal akan kebaikannya bermanfaat baginya? Nabi menjawab: orang yang mengubur anak perempuannya hidup-hidup dan anak yang dikuburnya berada di neraka, kecuali jika perempuan yang menguburnya itu masuk Islam, lalu Allah memaafkannya. Demikian hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan an- Nasa’i, dan dinilai sebagai hadits hasan secara sanad oleh Imam Ibnu Katsir.

Hadits tersebut dinilai musykil dari sisi matan dan mukhtalif dengan al-Quran surat at-Takwir/81: 8-9 : 
وَإِذَا الْمَوْءُودَةُ سُئِلَتْ بِأَيِّ ذَنْبٍ قُتِلَتْ
Dan apabila bayi–bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah dia dibunuh?

Kalau seorang perempuan yang mengubur bayinya itu masuk ke neraka dapat dikatakan logis, tetapi ketika sang bayi yang tidak tahu apa-apa itu juga masuk ke neraka, masih perlu adanya tinjauan ulang. 

Maka dari itu, hadits tersebut harus ditolak meskipun sanadnya hasan, dan juga karena adanya pertentangan dengan hadits lain yang lebih kuat nilainya, yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Nabi pernah ditanya oleh paman Khansa’, anak perempuan al- Sharimiyyah: Ya Rasul, siapa yang akan masuk surga? Beliau menjawab: Nabi Muhammad Saw. akan masuk surga, orang yang mati syahid juga akan masuk surga, anak kecil juga akan masuk surga, anak perempuan yang dikubur hidup-hidup juga akan masuk surga. (HR. Ahmad.)

3.Metode Nasikh Mansukh (Membatalkan salah satu dan mengamalkan yang lain)
Mempelajari Nasakh adalah termasuk kewajiban yang penting bagi orang- orang yang memperdalam ilmu syari’at. Karena seorang pembahas ilmu syari’at tidak akan dapat memetik hukum dari dalil-dalil nash. Dalam kaitan ini adalah hadis. Maka dengan mengetahui hadis-hadis yang di nasakh wal mansukh kan mudah dalam menatapkan hukum-hukum syara’. Dengan adanya ilmu nasakh, kita akan mengetahui latar belakang kenapa suatu hadis di nasakh dan  dimansukh.

Nasikh menurut bahasa mempunyai dua makna yaitu, menghapus dan menukil. Sehingga seolah-olah orang yang menasakh telah menghapuskan yang mansukh, lalu menukilkannya kepada hukum yang lain.  Sedangkan ilmu Nasikh dan mansukh menurut para muhadditsin ialah:

العام الزي يبحث عن الا حاد يث المتعا رضة التي لا يمكن التو فيق بينها من حييث ا لحكم على بعظها بأنه نا سخ  , وعلى بعظها الاخر بأنه منسخ, فما ثبت تقدمه كان منسو خا وما تأخره كان نا سخا. 
Artinya: Ilmu yang membahas hadis- hadis yang berlawanan yang tidak mengkin untuk dipertemukan, karena materi (ynang berlawanan) yang akhirnya terjadi menghapus dengan ketetapan bahwa yang datang terdahulu disebut mansukh dan yang datang kemudian Nasikh. 

Pendekatan ini dilakukan jika jalan taufiq tidak dapat dilakukan. Itupun jika data sejarah kedua hadits yang ikhtilaf dapat diketahui dengan jelas. Tanpa mengetahui  taqaddum dan taakhhur dari kedua hadits itu, metode nasakh mustahil dapat dilakukan.  Pendekatan nasakh sendiri yaitu menghapus hadits yang turunnya lebih dahulu kemudian mengamalkan hadits yang turunnya kemudian.

Pernyataan dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, seperti sabda beliau
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ، قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ، عَنْ عُمَرَ بْنِ أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَعَنَ زَوَّارَاتِ القُبُورِ.
Abu Hurairah brkata bahwa, “Sesungguhnya Rasulullah saw melaknat untuk ziyarah kubur”.

Pada hadis selanjudnya Nabi SAW bersabda tentang kebolehan berziyarah kubur.
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ وَمَحْمُودُ بْنُ غَيْلَانَ وَالْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ الْخَلَّالُ قَالُوا حَدَّثَنَا أَبُو عَاصِمِ النَّبِيلُ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ عَلْقَمَةَ بْنِ مَرْثَدٍ عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَقَدْ أُذِنَ لِمُحَمَّدٍ فِي زِيَارَةِ قَبْرِ أُمِّهِ فَزُورُوهَا فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ الْآخِرَةَ.
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basyar dan Mahmud bin Ghailan dan Al Hasan bin Ali Al Khallal mereka berkata; Telah menceritakan kepada kami Abu 'Ashim An Nabil telah menceritakan kepada kami Sufyan dari 'Alqamah bin Martsad dari Sulaiman bin Buraidah dari Bapaknya berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Saya pernah melarang kalian berziarah kubur. Sekarang telah diizinkan untuk Muhammad menziarahi kuburan ibunya, maka berziarahlah, karena (berziarah kubur itu) dapat mengingatkan akhirat.”

Dari hadis diatas diketahui bahwa dahulu hukum ziyarah kubur itu dilarang, kemudian diperbolehkan, setelah adanya perintah Rasulullah saw, bahkan dalam riwayat yang kedua  Nabi menyebutkan sisi positif ziyarah kubur yakni karena di dalam ziyarah kubur banyak pelajaran yang bisa diambil, juga karena mengingatkan kematian. Maka hadis yang pertama di atas di hapus oleh hadis yang kedua dengan perkataan rukhsoh tersebut.

Dalam salah satu jalur sanad Syaddad dijelaskan bahwa hadis itu diucapkan pada tahun 8 hijriyah ketika terjadi pembukaan kota Makkah, sedangkan Ibnu Abbas menemani Rasulallah saw dalam keadaan ihram pada saat haji wada’.

Kedua hadis di atas berkualitas sahih. Pada hadis pertama, dianggap bertentangan dengan hadis kedua. Hadis pertama berisi ketidaksenangan Nabi yang bisa diartikan sebagai larangan kepada wanita-wanita yang terlalu sering berziarah kubur. Sedangkan hadis kedua berisi perintah secara umum baik untuk laki-laki dan perempuan untuk berziarah ke kubur, karena hal tersebut dapatmengingatkan manusia terhadap adanya kematian.Menurut al-Qardawi, sebagaimana ia menukil pendapat al-Qurtubi, bahwa hadis pertama di atas dapat dikumpulkan dengan hadis kedua. Pada hadis pertama disebutkan bahwa yang dilaknat adalah zawwarat (wanita-wanita yang terlalu sering berziarah kubur). Ini berarti ada kemungkinan wanita tersebut telah meninggalkan kewajibannya yang lain, hanya karena terlalu sering berziarah. Itulah yang menyebabkan mengapa dilarang oleh Nabi. Analisistersebut merupakan suatu analisa yang digunakan oleh Ilmu Mukhtalif al-Hadis,yaitu pertentangan yang terjadi antara hadis-hadis dibawa kepada perbedaan peristiwa masing-masing. Karena peristiwanya berbeda, maka tuntunan terhadap peristiwa itu juga berbeda. 

Berkata Asy-Syaukani :“Pendapat itulah yang sepatutnya dijadikananalan dalam upaya penggabungan antara hadis-hadis yang tampaknya saling bertentangan menurut zahirnya.”  Hadis larangan untuk ziyarah qubur adlaha shahih dan hadis pada kebolehan untuk ziyarah quburr juga shahih, dan hadis yang kedua menghapus hadis yang pertama. Sedangkan dalam hadis lain rasulullah bersabda:

Ziyarahlah oleh kalian akan kubur dan jangan kalian katakan hujran. 

Contoh :

قَالَ رَسُوْلُ اللهِِ ص لاَ يَأْكُلَنَّ أَحَدُكُمْ مِنْ نُسُكِهِ بَعْد ثَلاَثٍ.
Artinya: Telah bersabda Rasulullah saw : “Janganlah salah seorang pada kamu, makan dari kurbannya sesudah tiga hari. (Syafi’i).

Larangan “tidak boleh makan dari daging kurban sesudah tiga hari”, disebut “hukum”. Hukum ini, sudah di hapuskan oleh nabi Muhammad saw. Sendiri dengan sabdanya:
نَهَيْتُكُمْ عَنْ لُحُوْمِ الأَضَاحِيْ أَنْ لاَ تَأْكُلُوْهَا بَعْدَ ثَلاَثٍ فَكُلُوْا وَانْتَفِعُوا بِهَا فِيْ أَسْفَارِكُمْ.
Artinya: Aku pernah melarang kamu tentang daging kurban, bahwa: “jangan kamu makan dia sesudah tiga hari”, tetapi (sekarang) makanlah dan gunakan dia dalam pelayaran-pelayaran kamu.

Hadis yang pertama itu, dinamakan mansukh, artinya yang dihapuskan, karena hukum yang ada padanya sudah tidak terpakai lagi. Hadis yang kedua disebut nasikh, artinya yang menghapuskan, karena hadis ini menghapuskan hukum yang ada pada hadis pertama. Hadis yang sudah dihapuskan hukumnya itu, tentu tidak boleh dipakai lagi.




BAB III
PENUTUP

A.Kesimpulan
Dari uraian di atas ada beberapa kesimpulan yang bisa diambil, yaitu:
  1. Ilmu mukhtalif al-hadis adalah hadis-hadis yang tampak saling bertentangan satu sama lain. Termasuk dalam pengertian hadis mukhtalif adalah hadis-hadis yang sulit dipahami karena ada kata-kata janggal atau sulit dipahami (musykil). Akan tetapi, hendaknya kita tidak terburu buru menolak suatu hadis yang dinilai kontradiktif, sebelum benar-benar melakukan verifikasi secara mendalam. Hal ini karena hadis-hadis tersebut boleh jadi tidak benar-benar kontradiktif, sehingga masih bisa diberikan solusi.
  2. Paling tidak ada tiga metode yang bisa dipakai untuk menyelesaikan hadis-hadis mukhtalif, yaitu: 1) aljam’u wa al-taufiq, 2) al-tarjih ,3) naskh-mansukh,




DAFTAR PUSTAKA

Abu Abdillah Muhammad bin Abdullah al-Hakim al-Naisaburi, Ma’rifat ‘Ulum al-Hadîts, (Madinah: Maktabah al-Ilmiyah, 1977)
Jalaluddin al-Suyuthi, Tadrib al-Rawi Syarah Taqrib al-Nawawi, (Kairo: Darul Hadits, 2004)
Mahfud al-Turmusi, Manhaj Dzawi al-Nazhar Syarah Manzhumat ‘ilmi al-Atsar, (Surabaya: Haramain, tt)
Mahmud al-Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadit, (Surabaya: Haramain, tt)
Muhammad Ajjaj al-Khathib, Ushul al-Hadits‘Ulumuhu Wa Musthalahuhu, (Beirut: Darul Fikr, 1989)
Abu Abdullah Muhammad Idris al-Syafi’i, Kitab Ikhtilaf al-Hadis, (Beirut: Dar al-Fikr, 1403 H/1973M)
Abdullah Bin Ali An Najdy Al-Qushaymi, Memahami Hadits-Hadits Musykil, ( Solo: Pustaka Mantiq, 1993)
Manna’al qaththan , pengantar studi Ilmu hadits, terj. Mifdhol abdurrahman, (Jakarta Timur: Pustaka al- Kautsar, 2005)
Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadits (jakarta : Pustaka Firdaus, 2000)
Yusuf Qardhawi, Bagaimana Memazhami Hadis Nabi, (Cet. 5, Bandung: Karisma, 1997)
Makalah Ikhtilafu Al-Hadist
Item Reviewed: Makalah Ikhtilafu Al-Hadist 9 out of 10 based on 10 ratings. 9 user reviews.
Emoticon? nyengir

Berkomentarlah dengan Bahasa yang Relevan dan Sopan.. #ThinkHIGH! ^_^

Komentar Terbaru

Just load it!