A.Pendahuluan
Untuk membahas konsep dan perkembangan sunnah dibatasi sejak jaman Rasulullah sampai dengan munculnya al-Syafi’, seorang tabi’i’ al-tabi’in yang sangat berjasa memberikan rumusan sistematis tentang sunnah. Istilah sunnah Nabi, tidak ditemukan secara eksplisit dalam al-Qur’an. Kata sunnah yang dipakai al-Qur’an tidak ada yang secara khusus menunjuk ke arah prilaku dan aksi-aksi Nabi. Yang ada hanyalah perintah-perintah dan anjuran Tuhan supaya umat mentaati Rasul dan meneladani tindak tanduknya.
Salah satu pemikiran yang muncul dikalangan para pemikir hadis adalah kewenangan sunnah. Otoritas-otoritas Nabi telah membentuk keyakinan kaum muslimin terhadap sunnah, perbedaan pemahaman dan bagaimana memaknai otoritas kewenangan sunnah Nabi.
Kata sunnah dan sunnah Rasul yang merujuk pada prilaku, pertama-tama digunakan sendiri oleh Rasulullah dan para sahabatnya. Hal ini bisa dilihat pada pernyataan Muadz bin Jabal ketika hendak ditunjuk sebagai hakim di Yaman. Mu’adz ditanya tentang landasan yang dipakai sebagai rujukan membuat keputusan. Ia menjawab, pertama akan merujuk kitab Allah, kemudian kepada sunnah Rasul.
Dalam riwayat lain dituturkan bahwa Nabi bersabda:
لقد تركت فيكم أمرين لن تضلوا ما إن تمسكتم بهما, كتاب الله و سنة رسوله
“Aku tinggalkan kepadamu dua perkara, kamu tidak akan tersesat selama kamu berpegang kepada keduanya, yaitu kitab Allah dan sunnahku“.
Pada itu al-Qur’an juga memakai kata hikmah (kebijaksanaan) sebagai pedoman yang menyertai al-Qur’an. Oleh para ulama kata al-hikmah ini ditafsirkan sebagai sunnah Nabi dengan alasan yang didukung ayat 34 al-Ahzab: “Dan ingatlah apa yang dibacakan kepada¬mu di rumahmu berupa ayat-ayat Allah dan hikmahnya. Se¬sungguhnya Allah Maha lembut dan Maha Mengetahui”. Oleh para ulama kata al-hikmah dalam ayat ini diyakini sebagai sebutan bagi sesuatu yang diajarkan Nabi selain al-Qur’an yang bisa dibaca, dihapal dan dipelajari, yaitu sunnah Nabi.
Sesudah Nabi wafat, para sahabat juga melakukan pelestarian dan pemasyarakatan terahadap sunnah Nabi. Hal ini bisa dilihat pada instruksi-instruksi para khulafa al-Rasyidin. Dalam suatu pidatonya khalifah Umar bin al-Khatthab menyatakan: “Ya Allah aku bersaksi kepada-Mu atas penguasa-penguasa daerah, bahwa saya mengangkat mereka agar mengajarkan agama Islam dan sunnah Rasul kepada penduduk“.
Mahmud Syaltut membagi sunnah menjadi: sunnah tasyri’ dan ghairu tasyri’.
B.Pembahasan
1.Hadis/ Sunnah Tasyri’iyyah
a.Pengertian Hadis/Sunnah Tasyri’iyyah
Sebelum lebih jauh membahas otoritas sunnah perlu diketahui pengertian istilah hadis dengan sunnah. Saat ini terdapat dua istilah yang berkembang untuk menunjuk apa yang bersumber dari Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam; Hadis dan Sunnah. Para ahli Hadis tidak membedakan antara Hadis dan Sunnah, yang dalam term mereka, keduanya berarti segala hal yang bersumber dari Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, baik berupa perkataan, perbuatan, penetapan dan sifat-sifat beliau, dan sifat-sifat ini baik berupa sifat-sifat fisik, moral, maupun perilaku, dan hal tesebut berlaku baik sebelum beliau menjadi Nabi maupun sesudahnya.
Sementara itu para pakar ushul fiqh membedakan antara Hadis dan Sunnah. Menurut mereka, Sunnah adalah segala apa yang dikatakan Nabi, yang diperbuat Nabi, atau yang disetujui Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam . Sedangkan Hadis adalah perkataan, perbuatan, penetapan dan sifat-sifat Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam. Jadi mereka tidak menganggap sifat-sifat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai Sunnah, melainkan sebagai Hadis. inilah yang membedakan mereka dengan para ahli Hadis yang menganggap sifat-sifat Nabi juga sebagai Sunnah.
Menurut Tarmizi M Jakfar dalam bukunya; seperti halnya hadiss, dalam mendefinisikan sunnah juga terjadi perbedaan di kalangan ulama hadis dan ulama Ushûl. Karena ulama Ushûl memandang Nabi saw sebagai sosok pembuat syari’at yang menerangkan dustûr kehidupan bagi manusia dan meletakkan kaidah-kaidah kepada para mujtahid setelah beliau. Seperti yang terdapat dalam beberapa ungkapan berikut :
Muhammad Ajjad Al-Khatib mengemukakan bahwa sunnah adalah :
كل ما أثر عن النبي صلى الله عليه و سلم من قول أو فعل أو تقرير أو صفة خَلقية أو خُلقية أو سيرة أكان قبل البعثة أم بعدها.
“Segala yang bersumber dari Rasulullah saw, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrīr, shifat khalaqah atau khuluqiyah maupun perjalanan hidupnya sebelum atau sesudah menjadi rasul”.
Imam al-Syafi'i sebagaimana diriwayatkan oleh Muhammad al-Hasan al-Fasi dalam al-Fikr al-Sami fi Tarikh al-Fiqh al-Islami berpendapat lain. Menurut beliau apabila sebuah Hadis memiliki sanad (transmisi periwayatan) yang muttashil (bersambung) kepada Nabi, dan sanad itu shahih (otentik), maka Hadis itu disebut Sunnah. Pengarang kitab Al-Taqrīr wa Al-Tahbīr mengatakan, sunnah adalah perkataan, perbuatan dan persetujuan Nabi SAW yang tidak termasuk persoalan tabi’at kemanusiaan.
Hadis/Sunnah tasyri’iyyah adalah Sunah yang berdaya hukum yang mengikat untuk diikuti.
b.Dasar Penetapan Sunnah tasri’iyyah
Tuntutan taat dan patuh kepada Rasul SAW ini sama halnya tuntutan taat dan patuh kepada Allah SWT. Banyak ayat Al-Qur’an yang berkenan dengan masalah ini. Firman Allah: “Apa yang diberikan Rasul kepadamu, terimalah dan apa-apa yang dilarangnya, maka tinggalkanlah. Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukumannya-Nya”. (QS. Al-Hasyr: 7)
Selain berdasarkan ayat-ayat Al-Qur’an di atas, kedudukan hadis juga dapat dilihat melalui hadis-hadis Rasul sendiri. Banyaknya hadis yang menggambarkan hal ini dan menujukkan perlunya ketaatan kepada perintahnya. Dalam salah satu pesannya, berkenan dengan keharusan menjadikan hadis sebagai pedoman hidup disamping Al-Qur’an. Rasul SAW bersabda sebagai berikut:
Diriwayatkan oleh Malik bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Saya tinggalkan dua perkara yang kamu tidak akan tersesat apabila berpegang pada keduanya: Yakni Kitabullah (Al-Qur’an) dan sunnah Nabi-Nya (hadis)”. (HR. Malik).
Dalam hadis lain Rasulullah SAW bersabda “Kalian Wajib berpegang teguh dengan sunah-ku dan sunah khulafa’ rasyidin yang mendapat petunjuk. Berpegang teguhlah kamu sekalian dengannya…”. (HR. Abu Daud).
Banyak diantara mereka yang tidak hanya memahami dan mengamalkan isi kandungannya, akan tetapi mereka menghafal, mentadwin, dan meyebarluaskan dengan segala upaya kepada generasi-generasi selanjutnya. Di antara para sahabat misalnya, banyak peristiwa yang menujukan adanya kesepakatan menggunakan hadis sebagai sumber hukum islam, antara lain dapat diperhatikan peristiwa dibawah ini.
Pertama, ketika Abu Bakar dibai’at menjadi khalifah, ia pernah berkata: Saya tidak meninggalkan sedikit pun sesuatu yang diamalkan atau dilaksanakan oleh Rasulullah, sesungguhnya saya takut tersesat apabila meningglkan perintahnya. Kedua, pada saat Umar berada di depan hajar Aswat, ia berkata: Saya tahu bahwa anda adalah batu. Seandainya saya tidak melihat Rasulullah menciummu, saya tidak akan menciummu. Ketiga, pertama ditanyakan kepada Abdullah ibn Umar tentangketentuan shalat safar dalam Al-Qur’an. Ibnu Umar menjawab: Allah SWT telah mengutus Nabi Muhammad SAW kepada kita dan kita tidak mengetahui sesuatu. Maka sesungguhnya kami berbuat sebagaimana Rasulullah SAW berbuat. Sikap para sahabat di atas, seutuhnya diwarisi oleh generasi berikutnya secara berkesinambungan.
Segala yang diterima dari para generasi sebelumnya, kemudian diwariskan kepada generasi berikutnya, baik semangat, sikap, maupun aktifitas mereka terhadap hadis Rasul SAW. Berdasarkan beberapa argumentasi di atas, apabila sebuah Hadis telah memenuhi syarat-syarat keshahihan sesuai dengan yang ditetapkan oleh para ulama’ hadis serta telah dinyatakan shahih, maka para ulama sepakat bahwa ia memiliki otoritas sebagai sumber syariat Islam, baik dalam masalah akidah, syariah, maupun akhlak.
c.Kriteria Hadis/Sunnah Tasyri’iyyah
Setalah membaca beberapa sumber penulis menyimpulkan beberapa criteria. Adapun untuk mengetahui sunnah tasyri’ ialah bahwa sunnah tersebut menyangkut masalah; pertama: akidah; kedua: akhlak; ketiga: ibadah (amaliah).
Dalam hal akidah, apa yang disampaikan oleh hadis tentang akidah, pasti sudah ada dalam al-Qur’an. Artinya, hadis tidak bisa menentukan akidah ketika dalam al-Qur’an tidak menyebutkannya. Dalam hal ini, hadis berperan sebagai bayan taukid (penjelasan yang memperkuat), meskipun fungsi utama hadis adalah sebagai bayan tafsir (penjelasan yang menjelaskan/menafsirkan) terhadap al-Qur’an.
Cara makan dengan tangan kanan, kenapa menjadi sunnah tasyri’? hal ini karena cara makan dengan tangan kanan sudah masuk wilayah akhlak/etika. Tidak ada cara lain kecuali mengikuti apa yang dicontohkan oleh Rasul. Begitu juga dengan masuk toilet dengan kaki kiri terlebih dahulu dan berdoa terlebih dahulu, ini masuk wilayah akhlak.
Lebih rincinya adalah:
- Ucapan dan perbuatan yang muncul dari Nabi dalam bentuk penyampaian risalah dan penjelasan terhadap Al-Quran, seperti: menjelaskan apa-apa yang ada dalam Al-Quran yang masih bersifat belum jelas, menjelaskan ibadat, halal dan haram, akidah dan akhlak.
- Ucapan dan perbuatan yang muncul dari Nabi dalam kedudukannya sebagai imam dan pemimpin umat islam , dan tindakan yang lainnya dalam bentuk sifatnya sebagai pemimpin.
- Ucapan dan perbutannya yang muncul dalam kedudukannya sebagai hakim dan Qadhi yang menyelesaikan persengketaan umat islam.
Sunah berdaya hukum tersebut secara garis besarnya mengandung beberapa bidang antara lain Akidah, Akhlak, dan hukum-hukum Amaliyah.
2.Hadis/Sunnah Ghair (non) Tasyri’iyyah
a.Sunah Ghair Tasyri’iyah
Yaitu sunnah yang tidak berdaya hukum, yaitu sunnah yang tidak harus diikuti dan oleh karenanya tidak mengikat.
Nabi Muhammad SAW telah berbicara dan berdiskusi dengan manusia yang hidup dan bergaul dengan masyarakat tentang berbagai persoalan, baik persoalan agama maupun dunia. Para ulama mempersoalkan apakah pembicaraan, pendapat, dan perbuatan nabi yang berkaitan dengan urusan duniawi memiliki otoritas yang mengikat umat islam sebagaimana pembicaraan, pendapat dan perbuatan nabi tentang masalah agama.
b.Dasar Penetapan
Al-Qaradlawi rupanya begitu berpegang dengan hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah RA, tenang penyerbukan kurma yang dilarang oleh Nabi. Kemudian setelah masyarakat madinah mengalami gagal panen karena tidak melakukan penyerbukan tersebut akhirnya Nabi mengatakan bahwa apa yang beliau anjurkan sebelumnya untuk tidak melakukan penyerbukan adalah pendapat beliau semata sehingga bisa benar bisa juga salah. Sehingga diakhir hadis tersebut disebutkan Rasulullah bersabda: “antum a’lamu bi umuri dunyakum (kalian lebih mengetahui urusan duniawi kalian)”.
Selengkapnya hadis tersebut berbunyi: “ Aku berjalan bersama Rasulullah SAW melewati suatu kelompok orang yang sedang memanjat pohon kurma. Rasulullah SAW bertanya: “apa yang mereka lakukan?”. Dijawab bahwa mereka sedang melakukan penyerbukan kurma dengan membubuhkan serbuk jantan pada putik betina sehingg” keduanya dapat dikawinkan. Rasulullah SAW bersabda: “saya kira hal itu tidak perlu.” Talhah berkata kemudian mereka diberi tahu akan hal itu, karenanya mereka tidak melakukannya lagi. Ketika Rasulullah diberi tahu bahwa hasil mereka jelek maka beliau bersabda: “Apabila penyerbukan itu bermanfaat bagi mereka maka lakukanlah karena waktu itu aku hanya berpraduga saja dan janganlah kalian mengambil pradugaku itu. Akan tetapi apabila aku menyampaikan sesuatu kepada kalian dari Allah azza wa jalla maka ambillah karena saya tidak berdusta kepada Allah azza wa jalla.”(HR. Muslim).
Dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh aisyah beliau SAW juga bersabda: “Kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian.” (HR. Muslim) Namun sayang, Al-Qardhawi tidak memberikan penjelasan tuntas apa yang ia maksud dengan istilah non-tasyri’iyyah tersebut. Ia tidak menjelaskan istilah kontroversial ini secara definitive, kecuali menyebutkan sunnah non-tasyri’iyyah adalah sunnah yang tidak wajib diikuti dan ditaati.
Pernyataan seperti ini ternyata sangat problematis dan membingungkan karena sebagaimana diketahui dari keterangan Ulama’ ushul, bahwa sunnah Nabi ada yang bersifat wajib, sunah, mubah, bahkan ada yang bersifat anjuran. Memang Al-Qardhawi pernah menyatakan bahwa sunnah non-tasyri’iyyah adalah sunnah yang menunjukkan mubah. Adapun sunnah non tasyri’iyyah yang diserukan Al-Qardhawi meliputi lima kriteria yaitu:
1.Perbuatan dan perkataan nabi berdasarkan pengalaman.
Contoh hadis tentang batu itsmid untuk digunakan sebagai riasan mata agar terang mata.
Berkata Murtadha az Zabidiy: ” Itsmid adalah batu celak berwarna hitam kemerahan, berasal dari Ashbahan dan juga ada di Moroko namun lebih keras. Ia merupakan jenis celak terbaik” (Taajul Arus: 4/468).
Rasulullah bersabda:
إِنَّ خَيْرَ أَكْحَالِكُمُ الْإِثْمِدُ يَجْلُو الْبَصَرَ وَيُنْبِتُ الشَّعْرَ
” Sebaik-baik celak kalian adalah itsmid. Ia menerangkan pandangan dan menumbuhkan bulu mata” H.R.Abu Dawud: 3878, An Nasa’iy : 5113, Ibnu Majah: 3497 dan dishahihkan oleh Syaikh al Baniy dalam shahih sunan Abu Dawud.
Dalam riwayat lain Rasulullah memerintahkan agar bercelak dengan menggunakan celak itsmid:
اكْتَحِلُوا بِالإِثْمِدِ فَإِنَّهُ يَجْلُو البَصَرَ ، وَيُنْبِتُ الشَّعْرَ
“ Bercelaklah dengan Itsmid sebab ia sebaik-baik celak kalian.Ia menerangkan pandangan dan menumbukkan bulu mata”. H.R. At Tirmidziy:1757 dan dishahihkan oleh syaikh al Baniy dalam shahih sunan at Tirmidziy.
Dan dalam riwayat lain Rasulullah bersabda:
عَلَيْكُم بِالإِثْمِد فَإِنَّهُ مَنْبَتَةٌ للشَّعْرِ ، مَذْهَبَةٌ للقَذَى ، مَصْفَاةٌ لِلْبَصَرِ
“ Pakailah celak itsmid karena ia menumbuhkan bulu mata, menghilangkan kotoran mata, menjernihkan pandangan”. H.R. Ath Thabraniy dalam Mu’jam al Kabir: 183 dan dihasankan oleh al Mundziri, al Iraqiy dan Ibnu Hajar .
Hadis tentang habbatussauda:
Dalam sebuah hadis, Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu 'anha bertutur, “Aku pernah mendengar Rasulullah sollallah hu 'alaihi wasallam bersabda,
( إن هذه الحبة السوداء شفاء من كل داء إلا من السام ) قلت : وما السام ؟ قال : ( الموت )
”Sesungguhnya habbatus sauda` (jintan hitam) mengandung ubat bagi semua jenis penyakit kecuali as-saam. Aisyah bertanya, "Apa itu as-saam?" Dijawab oleh beliau, "as-Saam adalah kematian". (Hadits Riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim)
2.Perbuatan dan perkataan nabi sebagai kepala Negara dan hakim.
Contoh hadis tentang menyeru membunuh orang murtad:
مَنْ بَدَّلَ دِينَهُ فَاقْتُلُوْهُ
“Siapa saja yang mengganti agamanya maka bunuhlah” (HR al-Bukhari, an-Nasa’i, Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibn Majah dan Ahmad)
Imam al-Bukhari mengeluarkan hadis di atas dalam Kitâb Istitâbah al-Murtaddîn wa al-Mu‘ânidîn wa Qitâlihim. Beliau meriwayatkan hadis ini dari Abu an-Nu‘man Muhammad ibn al-Fadhl, dari Hammad ibn Zaid, dari Ayyub dan dari Ikrimah yang berkata, “Orang-orang zindiq pernah dihadapkan kepada Ali. Lalu Ali membakar mereka. Hal itu sampai kepada Ibn Abbas, kemudian ia berkata, “Seandainya saya, saya tidak akan membakar mereka karena larangan Rasulullah saw: Janganlah kalian menyiksa dengan siksaan Allah. Namun, pasti saya akan membunuh mereka sesuai dengan sabda Rasulullah saw: Siapa saja yang mengganti agamanya maka bunuhlah.”
3.Perintah dan larangana nabi yang bersifat anjuran.
Hadis tentang larangan memberi nama Qasim:
Hadis riwayat Jabir bin Abdullah Radhiallahuanhu ia berkata: Seseorang di antara kami mempunyai anak. Ia menamainya dengan nama Muhammad. Orang-orang berkata kepadanya: Kami tidak akan membiarkanmu memberi nama Rasulullah saw. Orang itu berangkat membawa anaknya yang ia gendong di atas punggungnya untuk menemui Rasulullah Shalallahu’alaihi Wasallam. Setelah sampai di hadapan Rasulullah saw. ia berkata: Ya Rasulullah! Anakku ini lahir lalu aku memberinya nama Muhammad. Tetapi, orang-orang berkata kepadaku: Kami tidak akan membiarkanmu memberi nama dengan nama Rasulullah saw. Rasulullah saw. bersabda: Kalian boleh memberikan nama dengan namaku, tetapi jangan memberi julukan dengan julukanku. Karena, akulah Qasim, aku membagi di antara kalian. (Shahih Muslim No.3976).
Hadis riwayat Abu Hurairah Radhiallahuanhu ia berkata:
Rasulullah Shalallahu’alaihi Wasallam bersabda: Berikanlah nama dengan namaku, tetapi jangan memberikan julukan dengan julukanku. (Shahih Muslim No.3981).
4.Perbuatan murni (al-fi’l al-mujarrad) nabi.
Rasulullah bersama para sahabatnya suatu kali pernah dalam kondisi tetidur. Ketika rombongan kaum Muslimin kala itu kembali dari perang dan beristirahat di sebuah lembah. Mereka semua termasuk Rasulullah tertidur karena kelelahan hingga matahari telah terbit.
Abu Bakar yang pertama bangun ketika itu berteriak histeris karena terlambat menunaikan shalat Subuh. Para sahabat yang lain termasuk Rasulullah terbangun mendengar teriakan Abu Bakar tersebut. Akhirnya, mereka menunaikan shalat Subuh berjamaah yang diimami Rasulullah sendiri, walaupun matahari sudah terbit. Rasulullah saw, "Diangkat qalam (pena) bagi umatku (tidak ditulis sebagai dosa) bagi mereka yang terlupa, tertidur, dan yang belum baligh berakal."
5. Perbuatan nabi sebagai manusia (al-fi’al al-jibilli) .
عَنْ أَنَسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُسِرَتْ رَبَاعِيَتُهُ يَوْمَ أُحُدٍ وَشُجَّ فِي رَأْسِهِ فَجَعَلَ يَسْلُتُ الدَّمَ عَنْهُ وَيَقُولُ كَيْفَ يُفْلِحُ قَوْمٌ شَجُّوا نَبِيَّهُمْ وَكَسَرُوا رَبَاعِيَتَهُ وَهُوَ يَدْعُوهُمْ إِلَى اللَّهِ فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ لَيْسَ لَكَ مِنْ الْأَمْرِ شَيْءٌ
"Dari Anas: "Sesungguhnya pada peperangan Uhud, gigi geraham Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam patah, dan kepala beliau terluka, maka beliau mengusap darah dari kepala beliau sambil mengatakan: 'Bagaimana akan mendapatkan keberuntungan, satu kaum yang melukai kepala Nabi mereka dan mematahkan gigi gerahamnya, sedangkan Nabi itu mengajak mereka menuju (peribadahan kepada) Allah?' Maka Allah menurunkan (ayatNya): “Tidak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu". -QS Ali Imran/3 ayat 128. Hadits shahih riwayat Muslim, no. 1791.
Apabila pada sebuah hadis atau sunnah terdapat salah satu dari kelima kriteria tersebut maka hadis atau sunnah tersebut adalah non-tasyri’iyyah. Akan tetapi kriteria-kriteria di atas masih terbuka peluang untuk dikritisi, karena menurut Al-Maududi, memisahkan tindakan kemanusiaan dan kerasulan Muhammad bagaikan memisahkan susu dan air, karena keduanya menyatu dalam satu keperibadian Muhammad saw.
Terkadang juga sebuah hadis yang dianggap non tayri’iyyah adalah upaya Nabi untuk membedakan ummat Islam dengan kaum Yahudi dan Nashrani. Misalnya hadis yang memerintahkan untuk menyisir rambut menjadi belah dua. Itu adalah reaksi nabi ketika melihat bahwa kaum yahudi sering menyisir rambut mereka ke depan dan kaum nashrani menyisir rambut mereka lebih condong ke arah kanan.
Kemudian beliau bersabda “Khallifuhum fi umurihim” (berbedalah kalian dengan mereka pada seluruh aspek kehidupan mereka). Kadang-kadang pula sebuah sunnah yang datang dari Rasulullah saw tersebut membawa manfaat untuk kemaslahatan misalnya hadis tentang minum sambil berdiri yang beliau larang. Ternyata mengandung manfaat bagi kesehatan bahwa kalau kita minum sambil berdiri maka akan mudah terkena penyakit.
c.Kriteria
Sunnah ghairu tasyri’ bisa dilihat dengan kriteria sebagai berikut:
- ang dilakukan oleh Nabi sebagai kebutuhan dasar manusia seperti makan, minum, tidur dan lain-lain.
- Pengalaman atau kebiasaan individual, seperti contohnya: Nabi makan dengan mengangkat kaki kanan, atau Nabi tidur dengan meletakkan kaki kanan di atas kaki kiri.
- Strategi manusiawi terkait dengan situasi dan kondisi. Contoh, cara membuat pohon kurma menjadi produktif.
Sunnah ghairu tasyri’ tentu saja tidak harus dilakukan oleh umat Islam ketika situasi dan kondisi yang dihadapi saat ini sudah sangat berbeda dengan sikon yang dihadapi oleh Nabi Muhammad saat itu. Misalnya, ke pasar naik onta. Jaman sekarang sudah banyak alat transportasi yang mudah dan murah. Dengan kata lain, sunnah ghairu tasyri’ ataupun sunnah tasyri’ yang bersifat khas memungkinkan untuk difahami secara kontekstual.
Siapa yang berhak/mempunyai otoritas untuk menentukan sebuah sunnah merupakan tasyri’ atau ghairu tasyri’? Jawabnya: siapa saja, dengan kualifikasi tertentu. Tentu saja tidak semua orang bisa menentukan bahwa sebuah sunnah adalah tasyri’ atau ghairu tasyri’. Orang yang tidak mempunyai latar belakang pendidikan yang memadai (baik formal maupun informal) berkaitan dengan sunnah, tentu tidak berhak hanya dengan mengira-ngira bahwa suatu sunnan tasyri’ atau ghairu tasyri’.
C. Penutup
1.Kesimpulan
Dari penjelasan di atas, sunnah Nabi dibedakan menjadi :
- Sunnah Tasyri’iyah, yaitu sunnah yang berdimensi hukum yang bersifat penetapan ajaran, yang mengikat kepada kaum muslimin. Dalam hal ini terdapat sunnah yang mengikat secara umum kepada setiap individu muslim secara langsung, maka yang demikian harus diikuti.
- Sunnah ghairu tasri’iyah, yaitu sunnah yang tidak berdimensi hukum tidak bersifat sebagai penetapan ajaran agama yang mengikat kaum muslimin.
- Dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa sunnah Nabi ada yang bersumber dari kerasulan Muhammad dan ada sunnah Nabi yang berasal dari basyariyah Muhammad.
- Dengan demikian, ketika kita menghadapi hadis Nabi dan kita tahu Nabi dalam kapasitasnya sebagai apa, maka akan menjadi mudah apa yang harus kita lakukan.
- Perbedaan pengertian terhadap sunnah telah menyebabkan perbedaan pemahaman terhadap term sunnah ini sendiri. Dan ini terjadi pada ulama-ulama juga.
2.Saran
- Meski demikian, tidak bisa dipungkiri bahwa ada beberapa kelompok di antara umat Islam yang tidak setuju dengan konsep di atas. Ini hanyalah tawaran. Apapun yang kita pelajari (termasuk bagaimana memahami sunnah sebagai tasyri’ dan ghairu tasyri’) bukanlah harga mati. Jika ada tawaran yang lebih baik, tentu saja itu lebih bagus.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah bin Abdurrahman al-Darimi, Sunan al-Dari¬mi, (Damascus: M.A. Dahman, 1349 H)
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997)
Atang Abd Hakam dan Jaih Mubarok, Metodolog Studi Islam (Bandung: Remaja Rosdakarya Ct. Ke.8)
FAjrul Hadi, Definisi Hadis, Diakses pada tanggal 29 November melalui: https://fajrulhadi0.wordpress.com/2013/11/25/defenisi-hadits/
M. Hasbi As Shiddiqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis ( Jakarta : Bulan Bintang, 1991)
Muhammad Husain Haikal, Sejarah Hidup Muhammad (Jakarta: Litera Antar Nusa, 1993)
Rahmat, Sunnah Tasyriyyah dan Ghairu Tasyriyyah, diakses melalui situs: http://rahmatsyariah.blogspot.com/2013/05/sunnah-tasyri-dan-ghoiru- tasyri.html
Yusuf Qardhawi, Sunnah Rasul Sebagai Ilmu Pengetahuan dan Peradaban, (1998, Jakarta: Gema Insani Press)
0 komentar
Berkomentarlah dengan Bahasa yang Relevan dan Sopan.. #ThinkHIGH! ^_^